KIRANA’S POV
Angin semilir berhembus membelai pipiku. Khata terus mengayuh sepedanya dengan pelan dan hati-hati. Tanganku pun memeluknya dengan erat dari belakang. Aku menyandarkan kepalaku pada punggungnya yang mulai berkeringat.
“Yah, gerimis. Neduh di pohon dulu ya sebentar?” Aku hanya mengangguk pelan, meski aku tau dia tidak bisa melihatnya. Kami pun kemudian duduk di bawah pohon untuk berlindung dari air hujan.
“Kamu nggak kedinginan?”
“Engga kok.”
“Kehujanan ya? Pake jaketku aja ini.” Dia melepas jaket baseball miliknya dan menyerahkan padaku.
“Aku nggak apa kok, Ta.”
“Pake ya? Plis?”
“Hahaha. Kamu lucu deh kalo lagi minta gitu.”
“Pliis?” Mukanya yang semakin ia buat lucu itu membuatku tertawa. Aku akhirnya memakai jaketnya itu.
“Nah, gitu.”
“Bau kamu. Hehe.”
“Ah, iya? Sori. Baru aku mau cuci sebenernya jaket itu.”
“Hahaha. Nggak apa. Aku suka kok baunya.”
“Dasar. Udah, jangan dibauin muluuu, ntar kamu mabok aku bingung.”
“Suka-suka laaaaah. Eh, ujannya udah mulai reda. Ayo lanjut.”
“Bener nggak apa? Kamu keujanan lho nanti. Aku nggak mau kamu sakit.”
“Nggak bakal sakit cuma karena hujan begini aja kok. Ayo jalan.”
Khata kemudian menegakkan sepedanya dan duduk di atas sadel. Aku dengan hati-hati duduk di belakangnya.
“Pegangan erat-erat ya? Kalo kenapa-kenapa bilang, biar aku berhenti ntar.”
“Iyaaaaaaaa.”
Kami pun kembali bersepeda melewati beberapa sapi yang sedang makan rumput. Dia mengayuh sepedanya sangat pelan. Tak apa, aku senang menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Kepalaku kembali aku senderkan pada punggungnya.
“Kayak dulu ya, Ta?”
“Maksudnya?”
“Kamu inget nggak dulu waktu kita masih kuliah? Aku pulang kunjungan? Yang mobilku mogok?”
“Oh, inget lahhhh! Hahaha. Kamu waktu itu kucel banget tau.” Aku mencubit perutnya pelan.
“Awwww, jangan dijiwit. Kucel-kucel gitu kamu masih tetep keliatan cantik kok tenang aja.”
“Gombal muluuuuu deh, Ta.”
“Engga kok. Suer deh. Kamu mau ngapain aja tetep cantik.”
“Iya, dulu. Sekarang udah engga. Pipiku makin chubby.”
“Kamu makin cantik sekarang Kirana.”
“Makin gendut gini malah dibiliang makin cantik gimana sih!”
“Kan cuma sementara, ntar abis ngelahirin juga balik kurus lagi. Kita jogging bareng deh!”
Anka sudah menungguku di depan pintu rumah. Dia mengulurkan tangannya untuk memelukku. Bibirnya kemudian mencium hidungku, membuatku tersenyum kegelian.
“Kamu kedinginan?”
“Engga kok. Ayo masuk. Ta, udah taruh sepedanya di situ aja. Ayo masuk.”
“Iya, kalian masuk dulu aja.”
Aku dan Anka kemudian memasuki rumah kami yang minimalis ini. Rumah di tengah peternakan seluas 11,5 hektar ini dirancang tidak lain dari teman baik Khata, si Ara tengil. Dengan lima kamar tidur dan enam kamar mandi bisa dibilang rumah ini sangat besar. Meski sebenarnya rumah ini rencananya untuk ditinggali aku dan Anka, namun Khata lah yang berperan besar dalam desainnya. Dia merancang benar-benar pas sesuai kebutuhanku dan Anka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic In You
RomanceSejak mata ini pertama kali melihatmu, kamu berhasil menyita perhatianku. Kala itu, kalau kamu masih ingat, kamu menggunakan sepatu nike, yang seperti kamu tau adalah brand sepatu favoritku. Mungkin, campur tangan Tuhan pula, malam itu mobilmu mogok...