03

85 7 3
                                    



***

29 Desember 2018

"Maafkan aku tentang soal yang semalem~~" celetuk Farel dengan gunakan nada dari salah satu lagu milik Lesti DA ketika ia dan Eksel baru selesai sarapan. Sementara si pendengar, alisnya tertarik satu, berpikir apalagi yang sedang terjadi pada sahabat anehya. Tak ingin berlama-lama dengarkan lagu Farel yang liriknya nampak aneh, Eksel segera bertanya. "Maksud lo?"

Farel hentikan nyanyiannya, berganti menjawab ucapan Eksel. "Soal yang kemarin malem, nggak seharusnya gue bahas itu lagi." Nada bicara Farel terdengar serius dan merasa bersalah, sekalipun cengiran tersemat di wajah bulatnya.

"It's okay lah, gue maafin. Tapi dengan satu syarat," balas Eksel dengan seringainya.

"Kok perasaan gue nggak enak ya?" gumam Farel, membuat Eksel terkekeh.

"Gue tagih syaratnya nggak sekarang, tapi besok. Jadi, persiapin diri lo," ucap Eksel. Farel memicingkan matanya, pikirannya tertuju kemana-mana.
Apa yang bakal Eksel minta besok? Memangnya apa yang bakal Eksel lakuin? Kenapa kok dia jadi horor ya? Apa jangan-jangan Eksel itu psikopat? Apa jangan-jangan Farel mau dibunuh? Terus dimutilasi, habis itu organnya diambil buat dijual di pasar gelap?
Segelintir pertanyaan itu terus memenuhi akal Farel, membuatnya bergidik ngeri membayangkan.

"Gue pergi dulu, lo kalo mau pulang, pulang aja. Lagian kasian Dita nggak ada temen di rumah, kalo ada lo kan lumayan bisa diajak main barbie atau kalo nggak ya jadi percobaan make-up nya," pamit Eksel yang berakhir mengolok Farel.

"Untung sahabat, kalo nggak, udah gue buang lo ke pluto biar bisa reunian sesama alien!" umpat Farel.

***

Rooftop gedung fakultas seni jadi pilihan Eksel tuk berpijak. Berdiri tegap menatap kemerisik kota yang dipenuhi oleh lalu lalang aktivitas penduduk kota di pagi hari. Namun, pemikirannya tiba-tiba melayang pada sosok wanita dalam potret yang semalam tengah Eksel rindukan-- lebih tepatnya teramat tengah dirindukan, sebab selama nafasnya masih berhembus, ia terus merindu pada sosok itu tanpa henti.

Pandangan yang semula tenang perlahan melayu berubah sendu. Apel utuh yang berada dalam genggaman, perlahan ia jatuhkan dengan kedua netra sendu yang terus mengamati. Tanpa terdengar dari atas, apel itu jatuh tak berbentuk sebab menghantam kerasnya aspal.

Entah apa yang tengah Eksel rasakan. Namun, satu sudut bibirnya terangkat, kornea matanya semakin sendu hingga berubah nanar penuh biru menjadi tanda bila sebuah emosi telah menyeruak dalam hatinya, begitu mengisi hingga menyesakkan rasanya, membuat Eksel tak kuasa menahan setetes air mata terjatuh. Hanya setetes, setelahnya Eksel usap kasar air matanya.
Berlanjut dengan salah satu tangannya mengambil sebuah botol kecil dari saku jaketnya, meminum beberapa isi dari botol itu dalam sekali teguk.

Hingga tiba-tiba pandangannya menggelap. Bukan. Eksel tak pingsan, namun sepasang tangan halus dari arah belakang menghalangi pandangannya.

Si pelaku tersenyum sebab menjahili Eksel, sedang si korban terlampau acuh karena sudah tahu siapa dalang hitamnya pandangan Eksel. Terbukti dari gelang tali khas yang dua tahun lalu ia berikan tersentuh pada pipi bagian atasnya.

"Jangan menutup mata terus, Lis!" seru Eksel membuat si pelaku merengut kesal sebab gagal menjahili orang terkasih, yang ternyata pelaku itu adalah si pemilik rambut oren, Lisa.

"Kenapa bisa tahu Kakak disini?" Eksel berbalik menghadap Lisa.
"Tadi awalnya ke apartemen Kakak, tapi baru mau masuk, Lisa malah liat Kak Eksel pergi naik motor, yaudah ikutin aja." Lisa nampak menyengir.

28JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang