10

52 3 5
                                    












***








Setelah Eksel dirasa sedikit tenang, ia diajak Farel untuk kembali ke apartemen saja sebab ia yang terus menolak untuk menengok barang sebentar keadaan Putri.

Namun, langkah mereka terhenti kala Devan menyapa sekaligus bertanya akan keadaan Eksel.

"Sel, Rel! Kalian mau pulang?"

"Hehe... Iya, Bang. Nggak pa-pa kan kita tinggal dulu?" balas Farel, sedang Eksel hanya diam menatap garang wajah Devan.
Devan merasakannya, dalam hati berdoa tidak terjadi apa-apa pada Eksel atau ia yang tak akan terpancing emosinya.

"Keadaan lo... Gimana, Sel?" tanya Devan hati-hati.

"Nggak usah muna lo, Bang!" sinis Eksel.

Dahi Farel dan Devan otomatis berkerut, bingung pada ucapan Eksel.

"Maksud lo?"

"Lo seneng kan udah buat gue jadi seorang pembunuh buat Putri!" tuduh Eksel sambil menggertakkan giginya, tanda bila ia mencoba menahan emosinya.

Devan tentu saja tak terima dituduh seperti itu, dengan berusaha tenang ia pun menjelaskan. "Gue tau Sel, lo lagi panik sama kejadian tadi, tapi jangan main tuduh orang sama main nyalahin diri sendiri. Semuanya udah diatur Tuhan! Kita nggak bisa ngelak atas semuanya, kita sekarang cuma bisa berusha atas keadaan Putri! Lagipula, kalaupun gue ngelakuin itu, motif gue apa coba?"

"Karna lo sebenernya juga suka sama Putri!" Eksel berteriak. Farel menenangkannya dengan menarik Eksel untuk segera pulang saja. "Udah, Sel. Mending kita pulang aja dulu, tenangin diri lo."

"Dan biarin si brengsek ini disini terus?"

"Yang lo maksud brengsek tuh siapa?" tanya Devan mulai tersulut emosi.

Eksel tersenyum miring dengan pandangan sinis tertuju pada Devan. "Jelas lo, Bang! Lo yang udah coba jadi orang ketiga dihubungan gue sama Putri!"

"Bugh!"

"Jaga bicara lo ya! Gue udah coba tenangin diri biar gak kepancing emosi, tapi lo malah nyeret gue buat emosi!" Devan tak bisa lagi toleransi pada Eksel, emosinya benar-benar tersulut.
Eksel balas menonjok rahang Devan.

"Gue emang harus jaga yang mana kalo semua itu emang fakta?!"

"Terus apa kabar lo sama Lisa?! Apa kabar lo yang lebih mentingin si Lisa daripada Putri?!"

Eksel kembali menonjok Devan.

"Sel, udah! Ini rumah sakit, bisa-bisa lo nanti diseret sama satpam kalo tau lo sama Bang Devan berantem!" lerai Farel.

"Dia yang mulai duluan, Rel!" ucap Eksel yang disahuti Devan.
"Gue? Lo sendiri Sel yang mulai semuanya?"

"Maksud lo apa?! Ha?!" sengit Eksel menarik kerah baju yang dipakai oleh orang yang ada didepannya dengan pandangan tajam yang juga dibalas tajam oleh orang tersebut.

"Maksud gue lo yang mulai semuanya, lo sendiri yang mulai permainan ini dengan cara nyeret Farel, Lisa, juga gue. Asal lo tahu, kita semua capek ngikutin permainan lo! Permainan gila yang dibuat sama orang gila kayak lo! Seharusnya kalo lo nyiptain permainan, lo main sendiri! Jangan nyusahin orang dengan cara ngelibatin dalam permainan lo ini! Jangan jadi pengecut seolah-olah semua orang itu salah dan lo bener!"

Mendengar ucapan tajam Devan, tarikan Eksel pada Devan perlahan melemah, berjalan mundur dengan kepala menunduk.

"Sel," ujar Farel yang benar-benar sadar dan tahu pada keadaan sahabatnya itu.
Devan yang melihat Eksel seperti itu pun baru tersadar akan ucapannya yang menurutnya kelewat batas. "Sel, gue... gue minta maaf, gue nggak bermaksud--"

"Nggak, Bang. Lo bener, gue emang pengecut. Gue minta maaf udah main tanjak lo. Gue pamit, Bang, tolong jaga Putri," potong Eksel beranjak lesu dari rumah sakit diikuti Farel.


***

Sesampainya di apartemen, Eksel langsung bergegas menuju kamar mandi dan mengunci pintunya. Tak memberi sedikitpun celah untuk bisa dimasuki oleh Farel yang kini tengah panik, karena kamar mandi yang dituju Eksel memang tak ada kunci cadangannya.

Sementara didalam sana, Eksel luruhkan tangisnya sembari sibuk mencuci kedua tangannya yang masih penuh akan darah kering dengan terburu-buru, menggosoknya secara kasar dan frustasi sebab darah yang sulit dihilangkan.


"Nggak. Gue emang pengecut, tapu gue bukan pembunuh. Bukan. Bukan gue!"







"Gue tahu, gue pengecut!"








"Tapi gue bukan pembunuh!"














"Bukan!"









"Bukan gue!"








"Nggak!"











"Bukan!!!"








"Arghh!!"









"Pyar!!"





Eksel frustasi, akal pikirannya terlalu berbelit dan menyimpang pada hatinya. Membuatnya menjadi rusuh dan beringas, mengoyak apa saja yang ada dalam kamar mandi, hingga tinjuan pada kaca wastafel di depannya menghentikan beringas juga teriakannya.

Nafasnya memburu, jari-jarinya terkepal kuat dengan hiasan luka dan darah yang baru saja dibuat. Netranya menatap bayangannya penuh abstrak lewat cermin yang sebagian sudah tak terbentuk, tajam namun penuh nanar.
Air matanya tiada henti untuk meluruh.





"Lo pembawa sial.









Lo yang nyebabin semua ini.









Lo yang udah nyelakain dia.











Lo pembunuh!














Lo harus mati...." desis Eksel melirih di akhir kalimatnya.





Entah darimana dan sejak kapan sebuah cutter tergenggam erat ditangan kanan Eksel.
Perlahan tangan itu mengarah ke atas hingga berhenti tepat selaras dengan dadanya.
Matanya bergulir dari refleksi bayangan ke mata pisau cutter tersebut, terus terulang beberapa kali seperti menimang sesuatu.

Tersenyum tanpa arti, mengangkat sedikit cutter tersebut sebelum kembali ia turunkan penuh pasti ke arah dada kirinya.















"Brakk!!"





















"Eksel!!"






Tbc.


Ndak ada kesan pesan, no comment. Jadi, pai pai!!👋👋👋

28JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang