06

234 36 10
                                    

06.

You just want attention you don't want my heart

Charlie Puth - Attention

Dengan langkah yang hati-hati Shintya menuruni setiap anak tangga yang menjadi penghubung antara lantai atas dan lantai bawah rumahnya yang bertingkat dua. Sudah terhitung dua hari sejak ia jatuh, Shintya tidak masuk sekolah karena masih belum bisa berjalan dengan normal. Setelah di pijat oleh tukang pijat langganan keluarganya hari ini kakinya sudah mendingan, setidaknya Shintya sudah bisa berjalan lebih baik dari kemarin. Shintya sudah menghubungi Rani untuk menjemputnya, tinggal menunggu kedatangan Rani sambil menikmati sarapan paginya.

Sesampainya di meja makan Shintya mendengar suara tawa Tama yang keras dari balik tembok pemisah antara ruang makan dan ruang keluarga. Shintya mengernyit tidak biasanya Tama masih berada di rumah, setahu Shintya lelaki paruh baya berstatus ayah kandungnya itu akan berangkat bekerja pada pukul 06.00 tidak lebih. Karena penasaran dengan suara Tama dari ruang keluarga tersebut Shintya memutuskan untuk melihatnya. Dan...

Tidak! Shintya tidak berteriak histeris karena melihat setan atau penampakan, ia juga tidak melihat kejadian mengenaskan atau menyeramkan. Yang dilihatnya adalah papanya bersama dengan seseorang yang namanya tidak ingin ia sebut dalam bentuk suara. Orang yang kemarin menolongnya ketika kecelakaan.

Ya. Yang Shintya lihat adalah sosok Dhavin yang terduduk di samping Tama dan kini berhasil membuat matanya dan mata milik Dhavin bertemu.

Dhavin tersenyum santai. "Selamat pagi, Shintya," sapanya.

Tama menoleh kebelakang dan melihat anak gadisnya berdiri dengan sorot mata tajam yang kini menatapnya seolah mendesak untuk meminta penjelasan.

"Hari ini kamu berangkat bareng Dhavin, papa yang nyuruh dia buat kesini jemput kamu."

"Papa udah gila?!" Shintya terdengar marah, intonasinya meninggi.

Tama berdiri mendekati Shintya di tempatnya. "Dhavin anak baik, papa khawatir kalau kamu berangkat sendiri kamau bakal kenapa-napa."

"Aku nggak sendiri, aku sama Rani."

"Biar Rani nggak usah jemput kamu, kasian. Sekarang kamu berangkat sama Dhavin." Kekeh Tama.

"Aku nggak mau berangkat bareng Kak Dhavin!"

"Shintya!" bentak Tama.

Shintya menunduk lalu terdiam.

"Papa beliin kamu mobil sebagai hadiah ulang tahun kamu, Biar nanti kamu belajar sama Dhavin. Sekarang kamu berangkat sama Dhavin dulu," ujar Tama. Suaranya melembut.

"Nggak usah maksa gue! Nggak usah nyogok gue pakai mobil biar gue setuju lo nikah sama nenek matre itu!" ucap Shintya tanpa gentar. Seketika seluruh tubuhnhya memanas, tangannya mengepal sebelum bergegas mengambil tas sekolahnya di kursi makan. Shintya berlalu begitu saja tanpa mencium punggung tangan Tama seperti biasanya jika hendak berangkat sekolah.

Shintya memasuki bangku penumpang di samping sopir, ia menangis tergugu di sana. Kedua telapak tangannya ia gunakan untuk menutupi seluruh wajahnya yang memanas. Tubuhnya menggigil karena berusaha menahan isakan yang hendak keluar dari mulutnya. Tadi adalah pertama kalinya Shintya berkata kasar dengan kata lo-gue kepada Tama. Gadis itu dikuasai oleh emosi yang membendung di hatinya sejak malam ulang tahunnya tempo hari. Sekarang sisi lain hatinya menjerit karena tidak menyangka ia berubah menjadi sekasar itu kepada orang tua, namun sisi hatinya yang lain ditumpuk beribu rasa kecewa yang belum pergi sejak pertama kali merasakan kekecewaan oleh perbuatan orang tuanya.

Shintya tidak pernah menginginkan kehadiran orang asing di hidupnya seperti halnya Ratna, dan Tama tahu akan hal itu. Oleh sebab itu Shintya merasa ditikam oleh papanya sendiri.

Attendance [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang