21

265 19 38
                                    

Shintya kini tidak lagi megurung dirinya di dalam kamar meski dia merasa tidak baik-baik saja. Dia juga tetap masuk sekolah seperti biasanya meskipun banyak tatapan kebencian kepadanya. Perkataan Tasya tiga hari yang lalu membuatnya sadar, dia sudah merenungi semuanya.

Cantik, kaya, body yang bagus, dan sempurna. Dia adalah cewek ideal. Tapi.. menjadi sempurna sepertinya adalah dosa besar. Shintya memandangi pantulan dirinya di cermin kamar mandi sekolah. Kantung matanya besar dan di sekitar matanya hitam. Wajahnya tampak kusut dari biasanya. Tetesan air dari rambutnya membasahi punggung tangannya. Kini, tetesan air dari matanya juga membasahi pipinya.
Hidupnya.. berubah sejak peristiwa di kantin tiga hari yang lalu. Tidak ada yang mau memuji-mujinya setiap dia berjalan. Semua memandangnya penuh kebencian terutama para kaum hawa. Dia dicap sebagai... pelakor hubungan Dhavin dan Tasya.

Berita itu sudah menyebar, dan hingga saat ini sejak kejadian itu, tidak ada interaksi apapun antara dia dan Dhavin. Dia tahu dia salah, tapi chat yang dikirmkannya tidak ada satupun yang Dhavin baca.

Padahal.. dia sangat meridukan cowok itu.

Tangannya menggigil, dan Shintya baru sadar dia baru saja keramas dua kali pagi ini. Tidak, lebih tepatnya dikeramasi. Seluruh kepalanya basah, bisa dibilang itu kali pertamanya dia mendapat bulian.

Benci, satu kata yang sebenarnya hanya berasal dari satu sebab tapi langsung dihubung-hubungkan dengan keburukan lainnya agar menjadi semakin besar.
Itulah kenapa menjadi sempurna adalah sebuah dosa.

Shintya sangat ingin membela dirinya sekarang, ingin semua orang tahu kalau dia tidak sepenuhnya salah tapi kali ini dia hanya diam. Dia ingin memendamnya sendiri, dia ingin mengerti orang lainnya juga bukan terus meminta pengertian dari orang lain.

Seperti kata Tasya, sudah Shintya bilang kan kalau dia sudah merenungkannya.
Shintya langsung membalikkan badannya dan menyibakkan rambut basah dan lepeknya ke belakang saat pintu kamar mandi tiba-tiba dibuka. Dan ternyata Yayan pelakunya.
"Ada yang nyariin lo, di depan," kata cowok itu. Mata Shintya langsung berbinar, senyumnya tercetak meskipun keadannya sedang buruk. Dia berharap seseorang itu adalah Dhavin.

Shintya tidak menjawab apapun saking bersemangatnya. Dia mengambil langkah panjang untuk segera keluar dari kamar mandi itu.

Hanya satu tujuannya.

Dia ingin cepat-cepat bertemu Dhavin, karena selama tiga hari ini Dhavin sangat sulit ditemui.

Tapi kenyataan memang tak seindah realita. Langkahnya mendadak berubah pelan ketika yang dilihatnya adalah Bagas yang berdiri menghadapnya.
Bukan Dhavin, dan memang tidak ada Dhavin.

Harapannya patah..

"Kak.." panggilnya dengan suara parau.
Bagas melihat penampakan Shintya yang kacau, rambut lepek Shintya menusuk hati Bagas hingga Bagas seperti bisa merasakan rasa sakit yang dialami gadis di depannya itu.

Bagas maju beberapa langkah lebih dekat. Dia memeluk gadis itu erat.
Yang dirasakannya adalah tubuh Shintya yang bergetar hebat. Shintya menenggelamkan wajahnya di dada Bagas, dia tidak perduli kalau seragam cowok itu akan menjadi basah karena ulahnya. Yang gadis itu butuhkan saat ini memang hanya itu. Sebuah pelukan hangat.

"K-kak D-Dhavin, Kak," racau Shintya.

"Dia nggak akan ninggalin lo," ucap Bagas menenangkan.

***

Harusnya memang iya, setelah itu harusnya Shintya memang tenang tapi menagapa kenyataannya seperti ini? Kenapa hatinya terus saja gelisah?
Shintya meringkuk di samping ranjangnya sambil memandangi dream catcher pemberian Dhavin. Di kamarnya ada Fira dan Rani yang datang sejak pulang sekolah sampai sekarang sudah pukul lima sore, hanya menemani Shintya yang hanya diam dengan posisi yang sama sejak berjam-jam yang lalu.

Attendance [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang