09.
Saat Dhavin memasuki rumahnya, seketika aroma sedap masakan dari Yulia tercium oleh hidungnya. Ia lantas menghampiri Yulia di dapur. "Masak apa, ma?" Dhavin mengejutkan Yulia dari belakang.
"Makanan kesukaan kamu," jawab Yulia sambil terus mengaduk masakannya yang belum matang. Dhavin mengangguk lalu pergi duduk di meja makan dekat dapur itu. Ia menuangkan air ke dalam gelas di depannya lantas meminumnya sekali tegukan.
Yulia melihat ke arah Dhavin. "Tadi Tasya ke sini."
Dhavin menaruh gelas di meja dengan pelan kemudian berdehem. "Ngapain?" tanya Dhavin dingin. Perasaan kecewa masih sangat lengket untuk di hilangkan.
Yulia mematikan kompor di depannya lalu berjalan dan duduk di kursi samping Dhavin, Yulia menatap Dhavin sendu, "jangan gitu. Tasya tadi cerita semuanya sama mama, dia nggak sepenuhnya salah. Dia juga nitip nomornya ke mama, tolong kamu kasih kesempatan buat dia jelasin semuanya ke kamu." Yulia memang bukan ibu kandung Dhavin, tapi wanita berhijab itu sudah lama bersama Dhavin sejak Dhavin sd Yulia sudah menikah dengan Ferdi−papa Dhavin. Yulia juga tahu bahwa Tasya adalah mantan Dhavin, meskipun Dhavin bersikap acuh namun Yulia tahu betul mengenai anak tirinya itu.
"Mama sudah kirim nomor Tasya ke nomor kamu, mama harap kalian selesaiin masalah kalian dengan dewasa."
Dhavin berdiri setelah lama terdiam karena berfikir, dia pergi ke kamarnya dan memikirkan apa yang Yulia katakana kepadanya. Dhavin mengambil hp nya dari saku celana, lalu membuka chat room-nya dan menemukan satu kontak yang dikirim oleh Yulia. Awalnya Dhavin bimbang, namun pada akhirnya dia mengirimkan sebuah pesan kepada Tasya.
Ketemu di kafe biasa jam tujuh malam.
Gue Dhavin.
Send. Setelah pesan terkirim Dhavin merebahkan tubuhnya di kasur, menutup matanya, mencoba untuk bisa tenang.
***
"Perkenalkan nama gue Bryan Adiputra Zulfian pindahan dari Sidney Australia, kalau di Australia biasa dipanggil Braiyen tapi kalau di Indonesia biasa dipanggil Yayan tapi kalau kalian nambahin G juga boleh jadinya Yayang gitu." Seisi kelas bersorak 'huuuu' saat Bryan menyelesaikan perkenalannya.
"Santai dulu woy! Hobi gue futsal dan sepak bola, tapi tenang aja buat para cewek karena gue masih jomblo." Lagi-lagi seisi kelas bersorak sedangkan Yayan tampak santai tanpa malu sedikitpun.
"Sudah-sudah! Tenang semuanya. Bryan, ibu kira sudah cukup perkenalannya kamu boleh duduk di bangku yang kosong." Bu Indah menjadi penengah di antara sorak-sorak seisi kelas.
"Baiklah kalau begitu di buka halaman 102," perintah Bu Indah di depan.
Rani menepuk pundak Shintya dari belakang, "sepupu lo gokil," bisiknya.
"Berisik lo, malu-maluin aja dia," balas Shintya tanpa menoleh ke belakang.
"Tadi semua orang pada ngomongin lo, gara-gara lo berangkat bareng Yayan." Kini giliran Fira yang berbicara.
"Bukannya gue emang biasa jadi bahan omongan, ya?" Shintya menatap Fira datar, "setiap gue ngelakuin hal-hal yang nggak biasanya gue lakuin pasti langsung di omong-omongin." Shintya sebenarnya tahu selama ini kalau dia selalu menjadi topic pembicaraan siswa-siswi Cendekia, hanya saja dia memilih untuk diam karena terlalu malas menanggapi. Shintya juga lelah mendengar banyak omongan tentangnya hampir setiap dia melakukan sesuatu pasti langsung semua orang tahu karena omongan dari mulut ke mulut.
"Susah ya jadi cewek cantik?" pertanyaan polos dari Fira mendapat ketawaan dari Rani di belakang sementara Shintya malah terlihat acuh. Dan tiba-tiba hp Shintya bergetar menandakan ada pesan yang masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Attendance [Selesai]
Teen FictionDikenal sebagai gadis cantik, populer dan menjadi the most wanted girl di sekolahnya, Shintya Ayra Putri juga terkenal menolak semua cowok yang mendekatinya karena masih menunggu kedatangan Dhava-- sahabat dari kecil yang pergi setelah menyatakan ci...