11

177 28 29
                                    

11.

"Sorry, gue telat. Lo udah lama?" tanya seorang cowok yang baru saja tiba di tempat itu. Ia mengenakan jaket warna hitaam kesukaannya dan celana jeans biru tua, rambutnya sedikit basah karena kehujanan.

Sang cewek menggelengkan kepalanya lalu sedikit tersenyum. "Enggak papa," ucapnya. "Enggak pernah berubah dari dulu," kata cewek itu lagi.

Dhavin duduk di kursi yang berhadapan dengan tempat duduk cewek itu, hanya meja yang menghalangi keduanya. Setelah itu mereka berdua saling diam, entah merasa canggung atau sedang bergelut dengan pikiran masing-masing untuk mencari bahan pembicaraan dipertemuan itu.

"Apa kabar?"

Dhavin mendongakkan kepalanya menatap cewek di depannya dengan serius seolah mempertanyakan pertanyaan yang baru saja ia dengar. Dhavin menaikkan satu alisnya kemudian melemparkan smirik-nya. "Jauh lebih baik setelah lo tiba-tiba menghilang," sindirnya.

Tasya menelan ludahnya kasar sebelum berbicara membalas perkataan Dhavin. Gadis itu menggigit bibir bawahnya cemas. "Maaf," lirihnya. Tasya menatap wajah Dhavin berkaca-kaca, sepercik emosi mengalir hingga membuat darahnya berdesir saat menatap mata cokelat Dhavin.

Dhavin merasakan sensasi perubahan atomsfer di sekitar tubuhnya. Melihat Tasya berkaca-kaca sedikit menciutkan nyalinya untuk terus menunjukkan egonya yang tinggi. "Semua orang juga tahu yang namanya penyesalan itu selalu datang terlambat. Jadi, percum lo minta maaf. Udah terlambat. Nggak akan bisa merubah semuanya."

Tasya menunduk tidak berani untuk menatap mata Dhavin lagi. Meski begitu telinganya masih terfokus pada satu sumber suara dari cowok di depannya itu. "Andai lo tahu apa yang gue alami waktu itu," gumamnya.

Dhavin diam tidak merespon, meskipun telinganya mendengar dengan jelas gumaman Tasya.

"Mama dituduh selingkuh dan akhirnya papa menceraikan mama, papa ngusir aku sama mama, jadi kami terpaksa pindah ke sini.

Hati gue hancur waktu itu, lo satu-satunya harapan gue dan sumber kebahagiaan gue tapi waktu itu pembantu lo bilang kalau lo lagi liburan ke Singapur. Gue telfon lo berkali-kali juga nggak lo angkat sedangkan gue bener-bener butuh lo." Tasya menghentikan ceritanya. Sedangka Dhavin mulai diselimuti perasaan tidak karuan.

"Waktu itu gue mutusin lo karna gue pikir hubungan kita emang nggak bisa dilanjut lagi. Lo di SMA Bhakti dan gue di SMA Cendekia, gue mau memulai hidup baru dan melupakan semua yang ada SMA Bhakti, melupakan kenangan gue sama bokap gue.

Di sini gue cuma fokus buat belajar biar bisa banggain mama dan untuk mengalihkan pikiran gue dari lo, harapan mama cuma gue dan gue nggak mau ngecewain mama." Darah Dhavin berdesir hebat mendengar pengakuan tersebut dari mulut Tasya. Tubunnya seperti terhantam oleh sebuah batu besar yang menyiksa batinnya.

Tasya melanjutkan ceritanya. "Ternyata benar kata orang, kalau seorang wanita sudah terlanjur mencintai seorang lelaki maka akan sulit buat berpindah ke lain hati. Setiap hari gue berharap supaya kita bisa ketemu lagi dan ngejelasin semua ini."

"Kenapa lo nggak pernah bilang sebelumnya?" potong Dhavin cepat.

Tasya mengepalkan jari-jari tangannya yang berkeringat untuk menyalurkan rasa greget emosinya. "Semuanya udah terlambat, kan? Hati lo bukan buat gue lagi."

"Iya, semua udah terlambat. Harusnya lo jelasin dari awal, lo cerita kayak gini. Semua ini nggak akan pernah terjadi," pungkas Dhavin.

"Sya," panggil Dhavin.

Tasya mendongak menatap wajah Dhavin. "Sorry, dulu gue jadi pacar yang buruk buat lo." Tubuh Tasya membeku di tempat efek mendendengar pernyataan maaf Dhavin, sementara jantungnya berdegub menjadi dua kali lebih kencang.

Attendance [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang