Black

163 12 0
                                    

Yogyakarta, 10 Desember 2018

Senin, Hari yang mengesalkan bagi setiap orang. Hari yang lelah untuk memulai hari. Hari yang mengingatkan setiap beban pekerjaan bagi kalangan pekerja. Dan hari dimana siswa sekolah sangat malas mengingat hari senin, karena akan ada upacara dan harus mendengarkan arahan yang biasanya sangat membosankan.

Tapi....

Tidak untuk Ana. Justru sebaliknya. Ana menantikan hari kemarin cepat-cepat deh berlalunya biar langsung hari senin. Biar aku bisa gitu nglihat si Stevan lagi.
Satu kesempatan yang Ana miliki bisa melihat Stevan dua kali dalam seminggu. Jarang-jarang mah hari Minggu nglihat dia, Seninnya juga nglihat dia.

Hahahahahaha.....

Sebelum sore menjelang, Ana itu dari awal udah ada niat mau mengirim pesan singkat pada Stevan "Pagi Stevan, lagi apa? "
Iya elah... Adanya Ana hanya ngetik itu pesan lalu di hapus. Ketik lagi, salin, hapus begitu aja kerjaannya. Hingga akhirnya Ana memutuskan mengurungkan niatnya untuk menyapa Stevan dengan pesannya yang kaku.

Kaku? Iya kaku.. Bagi Ana itu pesan kaku banget harus dikirim ke Stevan. Entahlah... Harus pesan bagaimana supaya nggak kaku menurut Ana. Ana itu susah masalah buat bertukar pesan. Mungkin karena dia akan mengirim pesan itu pada orang yang ia kasihi dan sukai makanya dia kaku.

" Bukan itu kok ". Aku nggak jadi mengiriminya pesan karena aku takut ntar pesan aku hanya di read doang sama si Stevan terus diabaikan deh. Tuh loh... Emang kalau kalian ngirimin pesan nggak ditanggapin nggak akan muncul rasa kesalnya?
Muncul kan pastinya. Nah, begitu juga dengan Ana. Ana udah lebih dulu si buat presepsi sendiri kalau dia ngirim pesan sama Stevan nggak bakal di balas.

Siang, Pukul 11.00 WIB waktunya untuk mengisi perut biar kuat menjalanin aktivitas seharian. Ana mulai kontekan dengan Irma menanyakan Irma pulang dari kampus itu jam berapa. Dan apa kah mereka akan berangkat bareng nanti ke gereja sebelum pukul 16.00 WIB. Sambil menunggu balasan Irma. Ada teriakan yang manggil namanya.

Fanya : " Kak Ana.. Ntar kakak pergi pukul berapa? "

Ana : Pukul 15.30 WIB berangkat iya dek. Barengan sama Irma

Fanya : Iy Kak, ntar panggil aku iya kak. Biar kita berangkat bareng.

Ana : Okay Dek, Emang kamu nggak ada kuliah lagi po? Oh iya, Nohva jadi ikutan ntar?

Fanya : Nggak Kak. Aku udah nggak ada kuliah lagi Kak. Kuliahku hanya sampai jam sepuluh aja tadi. Nggak Kak Ana, Kak Nohva nggak ikutan kak. Sakit kepalanya Kak.

Ana : Iya udah deh kalau begitu. Ntar kita berangkat bareng dek. Nanti aku kabarin lagi iya

Sambil menikmati novel yang dibaca Ana. Akhirnya dia nggak bisa menahan rasa kantuknya. Dan ia mengambil ponselnya lalu mengatur alarm untuk mengingatkan iya bangun lalu pergi ke gereja untuk "Pengakuan Dosa".

Lihat aja, sampai sore menjelang si Ana nggak jadi jadi ngirim pesan ke Stevan. Menanyakan Stevan dan mengingatkan Stevan biar hadir pengakuan dosa aja boro-boro Ana ngchat Stevan. Nggak ada dia ngingatin atau basa basi begitu untuk bisa berbalas pesan dengan Stevan.

Ana... Ana.. Kamu tuh pikirannya apaan si. Kok bisa seculun itu? Sudah lah, aku yakin kok. Meskipun aku nggak mengingatkannya atau basa-basi bertanya padanya "Stevan, ntar sore pengakuan dosa iya", atau "Stevan, jangan lupa iya ntar pukul 16.00 WIB ada pengakuan dosa".

Stevan itu bakal hadir kok disana. Aku bakal tetap bisa nglihat dia dari jauh. Kalaupun dia tak pernah melihat atau merhatiin keberadaanku di sana. Setidaknya aku bisa melihatnya udah itu aja.

Pukul 15.30 WIB aku dan Ana berangkat ke gereja. Lewat dari pos jaga perumahan AU aku melihat Febri dan Maria berjalan kaki. Lalu, aku bilang ke si Bapak pendekar hijaunya "Pak, teman saya yang berdua itu boleh naik iya Pak? " Si bapak menjawab "Iya Mbak... Iya Boleh. Dibuka aja kacanya Mbak. Temannya diajak"

Akhirnya kami berempat berada di mobil si pendekar hijau. Lalu si Bapaknya nanya kami berasal dari mana dll.

Eh, pas kami tiba di gereja kami milih duduk di bangku sebelah kiri yang dekat dengan ruangan Rm. Iyos. Setelah duduk, kami mengambil sikap masing-masing untuk berdoa.Seusai itu, Ana melihat temannya Stevan lebih dulu tiba di gereja sebelum Stevan. Nggak berapa lama, bola mata Ana berkeliaran kesana kesini mencari letak keberadaan si Stevan. Pas Ana menoleh ke arah bangku pojok kanan. Ana melihat ada Stevan disana dengan kaos oblong hitam yang ia pakai seperti pengakuan dosa prapaskah beberapa bulan lalu. Mungkin kalau setiap pengakuan dosa ia akan mengenakan oblong hitam untuk lebih menghayati pertobatan.

Aku lihat Stevan duduk di sana. Aku lihat qajahnya yang adem, tenang dan datar itu. Pipi chubbynya yang buat gemes dan selalu pengen tak cubit. Tapi nggak pernah kesampaian tuh juga aku perhatikan.

Sampai ibadah tobat dan pengakuan dosa giliran kami selesai. Kami pun pulang berjalan kaki menuju kost kami. Tapi, sebelum itu pas giliran aku sebelum dan sesudah masuk ke ruang pengakuan. Aku itu udah mewek duluan hingga pada akhirnya saat aku menjalankan penitensi dari Romo. Air mata Ana itu udah jatuh dan nggak terbendungkan saat berlutut dan berdoa. Entahlah, pas aku bangkit dan selesai menjalankan penitensi aku. Pandanganku mengarah ke altar lalu pas aku menoleh kekanan aku melihat si Stevan masih berada disana. Aku jadi malu, entahlah apa Stevan merhatiin aku dari jauh menangis atau apa aku nggak tahu. Tapi aku malu, soalnya aku bangkit dari bangku pun waktu itu aku masih mengusap air mataku dengan jari ku. Lalu aku keluar dari kursi dan menyamperin Febri yang udah lebih dulu selesai mengaku dosa. Lalu, aku ambil tas ku yang dipegangin oleh Febri.

Pemuja Dalam Diam (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang