4

4K 588 77
                                    

JUNGKOOK


Hari ini Charlie pulang. Aku berniat untuk menjemputnya di bandara. Tetapi, bersamaan dengan aku yang keluar dari rumah, Charlie keluar dari mobilnya. Aku langsung melompat ke arahnya. Rasa rinduku padanya setelah sembilan hari tidak bertemu sudah pada puncaknya.

Charlie menurunkanku di kasur kami. Charlie langsung melahap bibirku. Aku juga merindukan bibirnya. Tak lama, bibirnya merambat ke rahang lalu leherku. Charlie mulai membuka satu persatu kancing bajuku. Ia sudah tidak tahan rupanya. Ia juga mulai mencari kaitan bra hitamku. Kemudian, Charlie tiba-tiba berhenti. Ia meletakkan kepalanya dibawah payuradaku—tetapi jarinya mengusap salah satu pucuknya.

"Kau tahu, Babe, aku masih jetlag sebenarnya."

"Oh, Sayang. Tunggulah, aku bisa bawakan sesuatu untukmu. Untuk meredakan jetlagmu."

Aku beranjak dari kasur. Merapikan bajuku yang sudah berantakan. Turun ke dapur, aku menyiapkan minum dan juga vitamin. Tidak lupa aku meminta Bella untuk membuatkan jus, untukku dan teh kamomil untuk Charlie. Setelah mendapat vitamin, Charlie sudah terlelap kembali. Aku menyuruhnya berisitirahat barang sejenak. Aku lantas merapikan koper Charlie dan memisahkan laundrinya.

Hari ini hari libur. Aku senang karena tidak ada pekerjaan, tidak ada Ennik, dan juga tidak ada ketiga bodyguardku. Aku juga sudah mematikan semua ponsel dan telepon rumahku. Aku tidak ingin ada yang mengganggu dan aku tidak ingin pergi kemanapun hari ini. Jadi, aku bisa seharian memeluk Charlie.



Malamnya, Charlie sudah terlihat bugar. Charlie keluar dari kamar mandi dengan handuk di sekeliling pinggangnya, serta setitik air bekas keramas mengalir dari rambutnya. Aku segera mengambil handuk lain untuk mengeringkan rambutnya. Charlie duduk di pinggir ranjang dan aku berdiri di depannya mulai meremas rambutnya dengan handuk.

"Babe—"

"Hum."

"Kau seksi sekali. Ayo lanjutkan yang tadi pagi." Charlie mendongak ke arahku. Aku tersenyum menanggapinya. "Ayo kita mulai program membuat Charlie Junior lagi."

Aku tahu, Charlie sangat-sangat menginginkan anak. Aku tahu betapa terguncangnya ia saat aku kehilangan bayi kami. Dulu, Charlie sudah membayangkan bagaimana rupa anak kami. Campuran asia dan barat yang pasti akan sangat menawan. Ia bahkan sudah menyiapkan nama laki-laki dan juga nama perempuan.

"Kook? Kau terdiam?" Charlie meraih tanganku, menyadarkanku dari lamunan singkatku. "Ayo, adikku bahkan sudah bangun di bawah sana."

"Aku—tidak bisa." Charlie terlihat sangat terkejut. Ya, hari ini memang aku tidak bisa memenuhi keinginannya. "Aku menstruasi."

***

Aku terbangun dengan Charlie yang sudah tidak ada di sampingku. Semalam ia sempat merajuk padaku. Salahkan jadwal bulananku yang tidak sejalan dengan keinginannya. Tetapi, aku tidak lepas begitu saja. Aku kemudian memanjakan adiknya dengan tangan dan mulutku.

Charlie ternyata sudah duduk di ruang tengah. Menyesap kopi yang dibuatkan oleh Bella. Bella adalah asisten rumah tangga kami yang dikirim oleh ibu Charlie. Awalnya, aku menolak karena aku merasa aku bisa mengerjakan hal rumah tangga sendiri. Tetapi lama kelamaan aku semakin sibuk dan perkerjaan rumah tangga tidak ada yang mengurus. Ibu mertuaku lalu menyuruh salah satu asisten rumah tangga di rumahnya untuk bertugas di rumahku. Bella akan datang setiap pagi dan pulang saat pukul lima.

Aku lalu duduk di pangkuan Charlie. Memeluk tubuhnya yang sudah jadi canduku. Charlie tidak terganggu dengan kehadiranku. Ia tetap membuka halaman korannya lalu membacanya sekilas. Aku merasa diabaikan. Huh, padahal aku sudah sedikit memenuhi permintaannya semalam. Aku menarik korannya lalu menangkup wajah Charlie agar menghadap ke arahku.

"Sayang, aku ingin bilang sesuatu."

"Katakanlah—"

"Aku sudah tidak butuh bodyguard lagi. Percayalah."

"Tidak, Babe. Aku tid—"

"Kalau begitu aku akan memecatnya sendiri."

"Tidak bisa begitu, mereka sudah terikat kontrak dengan perusahaan—"

"Baiklah, aku akan merobek surat kontrak mereka."

"Kookie, Sayang. Kau tidak kasihan jika mereka kehilangan pekerjaan? Baiklah, okay. Aku akan menarik mereka kembali ke kantor."

"Yeay, terimakasih sayangku." Aku mencium bilah bibir Charlie berkali-kali. Aku senang akhirnya tidak akan ada lagi yang mengikutiku. Aku bisa pergi kemanapun bersama Ennik.

***

Ini sudah pertengahan desember. Udara sangat dingin, mungkin sekarang sudah dibawah nol derajat. Aku dan Ennik sedang berada di pusat perbelanjaan. Aku masuk ke gerai Gucci, berniat membeli sesuatu untuk Charlie. Aku melihat sebuah sweater twotone dengan marun sebagai dominan. Aku membayangkan jika ini akan sangat indah jika dipakai oleh Charlie. Ennik yang masih di sampingku turut memilih-milih sesuatu di wilayah pria. Aku tidak tahu Ennik punya seseorang yang spesial. Karena selama ini, yang kutahu Ennik belum memiliki kekasih.

Kami kemudian berbelanja hadiah natal untuk anak-anak panti asuhan. Ini adalah salah satu projek sosialku bersama perusahaan Jimin. Aku membeli banyak mainan dan juga sejumlah bahan makanan. Tidak lupa aku juga membelikan kado natal untuk Yoonjae. Anak itu suka sekali dengan Captain America. Jimin bilang, semua barang milik Yoonjae pasti bergambar tokoh tersebut. Sejujurnya aku juga menyukai bagaimana tampannya Chris Evans saat memerankan figur tersebut. Siapa sih wanita yang tidak terpikat dengan pesonanya? Sayangnya, ia hanyalah tokoh fiksi yang tidak ada di dunia nyata.

Setelah puas berbelanja, aku memasukkan seluruh barang kedalam troli. Ini sangat banyak sekali. Aku sempat menyesal memberhentikan ketiga pengawalku. Padahal mereka bisa aku berdayakan untuk mengangkut seluruh barang belanjaan kami. Ennik dengan susah payah mendorong troli hingga parkiran. Kami kedapatan parkir di gedung parkir paling atas. Mall tadi sangat ramai, sehingga aku tidak kebagian parkir dibawah ataupun valet.

Selesai memasukkan seluruh belanjaan kedalam mobil, Ennik sudah masuk ke dalam mobil. Sementara aku belum masuk ke mobil dan beralih mengambil ponselku yang bergetar. Itu Charlie. Aku baru ingat Charlie mengajakku makan malam nanti pukul tujuh. Masih ada sekitar dua setengah jam untuk aku bersiap-siap.

"Halo—"

"Sayang, aku masih ada rapat dan tidak tahu sampai jam berapa. Kalau sampai jam enam aku belum sampai rumah, kau—"

Badanku tiba-tiba ada yang menarik. Ini terjadi begitu cepat. Aku terguncang lalu yang kutahu aku sudah berbaring di lantai parkiran. Bersamaan dengan sepasang lengan yang memelukku dari belakang. Lengan yang berbeda dengan milik Charlie. Lebih kokoh tetapi merengkuhku dengan lembut. Ponselku sudah terlempar jauh sekali dari jangkauanku. Aku berbalik dan—

"Tetap disini, Ma'am. Dibalik mobil ini."

"Oh, ada apa? Hah? Darah? Kau terluka."

"Tetap disini, agar sniper itu tidak menembak lagi—"

Apa? Sniper? Aku masih belum bisa mencerna apa yang dikatakannya. Tetapi aku ketakutan. Aku menangis. Aku juga tidak mengerti mengapa lelaki ini tiba-tiba ada disini. Rengkuhannya mulai mengendur dari tubuhku, tetapi aku mengeratkannya. Membuatku masuk kembali dalam pelukannya. Menyembunyikan wajahku dalam dekapannya.





































"A—aku takut, Taehyung."

****

TBC


ʙᴏᴅʏɢᴜᴀʀᴅ ᴀғғᴀɪʀ ● ᴛᴀᴇᴋᴏᴏᴋ-ᴄʜᴀʀᴋᴏᴏᴋTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang