JUNGKOOK
Soal Charlie yang punya wanita lain sepertinya memang benar adanya.
Charlie datang ke rumah saat tengah malam. Aku yang setia menunggunya, langsung membukakan pintu. Charlie memberiku kopernya. Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Hanya ucapan, "Aku lelah, Kook." Lalu ia menaiki tangga.
Aku masih belum bisa mencerna apa yang barusan terjadi. Charlie benar-benar berubah. Sejujurnya aku tidak peduli kalau ia punya wanita baru. Karena akupun punya lelaki baru.
Masuk ke kamar, Charlie sudah berganti baju. Ia juga sudah duduk di kasur dan siap untuk menarik selimut. Aku membereskan pakaian Charlie terlebih dahulu. Tidak ada percakapan diantara kami. Hanya dengkuran halus dari Charlie yang terdengar selama aku memasukkan baju kotor ke kantung laundry.
Sudah menjadi kebiasaan baru bagi Charlie sekarang. pulang dari dinas luar selalu menyetir sendiri. Padahal biasanya ada Travis yang menjadi supirnya. Selain itu, Charlie pasti langsung terlelap. Padahal ia biasanya membersihkan diri terlebih dahulu. Minimal mencuci muka dan sikat gigi sebelum tidur.
Mungkin, ia sudah melakukannya di rumah wanita itu.
Aku menyusul Charlie ke tempat tidur. Malamku yang biasanya dipeluk Charlie—atau Taehyung—sekarang tidak ada. Charlie tidur membelakangiku. Aku mendekatinya. Memeluknya dari belakang. Meskipun aku punya Taehyung, aku juga masih merindukan lelaki di depanku ini. Bagaimanapun juga, ia adalah suami sahku di depan Tuhan.
Aku mendusalkan wajahku di belakang lehernya. Aku seakan familiar dengan wangi yang satu ini. Wangi dari leher Charlie yang berbeda dengan segala wewangian yang Charlie pakai. Wangi seperti vanilla dan rose. Aku selalu memasukkan sabun mandi beraroma mint di travel pouchnya. Tetapi ini—bukan.
Wanginya seperti sabun mandiku saat aku masih kuliah dulu.
***
Aku bangun sebelum Charlie. Pagi ini aku bersemangat untuk memasak untuknya. Terakhir di telepon, Charlie bilang kalau ia mau makan daging. Aku memasak macam-macam daging, mulai dari steak, ayam barbeque dan daging kalkun ala Thanksgiving. Bella kuminta datang lebih awal untuk membantuku untuk membuat semua ini.
Charlie turun dari kamar sekitar pukul setengah delapan. Ia sudah siap dengan setelan kantornya. Aku menghampirinya, membenarkan dasinya yang sedikit miring. Charlie menyambar kopi yang telah kubuatkan di meja. Setelah itu, ia mengambil sehelai roti tanpa selai.
"Aku sudah memasak bermacam olahan daging untukmu. Sesuai dengan permintaanmu tempo hari."
"Kapan? Aku tidak pernah meminta." Ah, mungkin Charlie lupa.
"Saat terakhir kali kau menelepon. Kau bilang kalau kau bosan makan daging. Dan aku akan membuatkannya—"
Charlie sedikit terkekeh. Ada apa? "Kau salah tangkap. Aku bilang itu pada Travis, bukan padamu. Lagipula aku sedang bosan memakan daging—" O—oke ini membuatku lemas. Charlie tersenyum miring seolah meremehkanku. "—aku sudah terlambat, mungkin akan sarapan di kantor."
"Ah—uhm—" aku menahan nafasku. Juga menahan laju air mataku agar tidak mengalir deras. "A—apa perlu kubuatkan bekal—"
"Tidak perlu, aku bukan anak sekolahan yang butuh bekal dari ibunya."
Charlie berlalu di depanku. Ia meraih mantel panjangnya di gantungan dekat pintu. Aku hanya menatapnya tanpa bisa berkata-kata. Bella mendekatiku dan bertanya apa aku baik-baik saja. Aku langsung memeluk Bella. Hatiku seakan teriris pisau tajam saat ini.
"Sakit, Bella, sakit. Mengapa hidup begitu kejam padaku."
"Ma'am—"
"Bella, aku—aku tidak tahu harus apa dengan semua ini." Aku melirik meja makan yang berisi berbagai daging yang sudah dimasak. Aku menangis sejadinya. Bella masih memelukku.
"Ma'am, kubuatkan teh untukmu, agar kau sedikit tenang."
Bella menuntunku ke kursi meja makan dan berlalu ke dapur. Nanti siang aku putuskan untuk mengundang semua yang ada disini untuk makan siang bersama.
Meja makan rumahku penuh saat makan siang ini. Aku senang melihatnya. Semua ada disini. Taehyung, Bella, Ennik, Abel, Gerald, Travis dan Shawn. Taehyung sempat mencuri kecupan di kepala belakangku saat ia pura-pura ke dapur mengambil gelas. Aku hanya berharap tidak ada yang melihat ini.
Masakan yang aku dan Bella buat sudah habis. Taehyung adalah orang pertama yang selesai. Seperti biasa, ia mengucapkan terimakasih karena telah membuat kalkun ala Thanksgiving terlezat sepanjang masa. Setelah itu, Taehyung keluar rumah duluan sambil menerima telepon. Sedangkan yang lainnya masih mengobrol sambil minum kopi atau teh di meja makan.
"Ada apa ini ramai sekali?" Aku terkejut saat mendengar suara Charlie. Tidak kusangka Charlie pulang lebih awal.
"A—aku mengundang semuanya untuk makan siang."
"Siapa yang mengizinkanmu?"
"A—aku—" Charlie mendekat kepadaku. Jujur aku takut sekali. Kilatan amarah terlihat jelas di wajahnya.
"Siapa yang mengizinkanmu memakai ruang makanku, hah?" Suara Charlie meninggi disertai dengan ia menjambak rambutku. Menariknya ke belakang. Air mataku mengalir tanpa aba-aba. "Kau tahu kan aku tidak suka keramaian selain dari keluargaku di rumah, hum?"
"Maaf, Tuan, kam—"
"Diam kau!"
Charlie masih menjambak rambutku. Di depan semua orang, aku ditarik menuju lantai atas. Charlie benar-benar marah. Shawn tadi mencoba membelaku, tetapi Charlie tidak bisa dibantah.
Charlie membantingku ke kasur. Aku hanya bisa diam sambil menangis. Charlie yang sudah marah memang susah untuk dikendalikan. Charlie menduduki perutku dan merobek gaun rumahan yang aku kenakan. Lalu ia membuka paksa bra yang kupakai.
"Kau memang benar-benar. Jawab pertanyaanku, Jeon Jungkook!" Ini pertama kalinya Charlie memanggil nama lengkapku sejak kami menikah.
"Ca—Carl, ma—maafkan a—aku—"
PLAK
Charlie menampar payudaraku. Sakit sekali. Ini bukan rangsangan atau apapun. Ini adalah siksaan.
"Kau memang harus dihukum—"
Charlie membuka seluruh pakaian yang ada di tubuhku. Ia lalu menurunkan celananya dan tiba-tiba memasukkan miliknya. Tangan kanannya mencekik leherku sedangkan tangan kirinya menampar bokongku.
Taehyung, tolong aku.
****
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
ʙᴏᴅʏɢᴜᴀʀᴅ ᴀғғᴀɪʀ ● ᴛᴀᴇᴋᴏᴏᴋ-ᴄʜᴀʀᴋᴏᴏᴋ
Romancewhen marriage is a choice, is having an affair another choice? taekook slight charkook gs!jjk