13

4.4K 580 68
                                    

JUNGKOOK


Aku baru saja pulang dari Unicef dan ibu mertuaku sudah duduk manis di ruang tamu. Kaki kirinya bertumpang pada kaki kanannya. Gaya angkuhnya tidak berubah sedari dulu. Sejujurnya aku sedikit takut karena ibu mertuaku kurang menyukaiku setelah aku keguguran. Aku membungkuk untuk memberi salam dan ia meneguk minumannya. Ibu mertuaku mempersilahkan aku duduk, lalu aku duduk di depannya.

"Dari mana?"

"Pertemuan bersama Unicef, kami sedang ada proyek di—"

"Berhentilah mengurusi anak-anak itu. Punya anak saja belum, sekarang mau mengurusi anak lain." Aku terdiam. Seperti ada sesuatu yang menghujam hatiku. Ini sakit sekali. Ingin sekali aku mengumpat. "Dimana Charlie?"

"Carl sedang di Beijing."

"Oh, bagus sekali. Kau lebih memilih untuk mengurusi orang lain daripada suamimu sendiri? Hebat." Sial. Nenek sihir ini.

"Maafkan aku, tetapi ini su—"

"Berhentilah. Aku sudah tahu kemana alasanmu." Tuhan, aku ingin menangis. "Perusahaan suamiku akan membuka cabang di Korea. Ku harap perusahaan ayahmu bekerja sama dengan kami. Sampaikan pada ayahmu."

"Ba—baik, Ma."

"Sepertinya aku harus pulang—" Ibu mertuaku mengambil tasnya dan beranjak ke pintu. "Tadinya aku mau bertemu dengan anakku dan membicarakan soal cucu untukku." Aku hanya bisa mematung di ambang pintu sembari melihat ibu mertuaku masuk ke dalam mobil dan berlalu.

Hatiku perih. Sangat perih. Seperti dihantam ribuan anak panah yang menusuk tubuhku. Aku menyandarkan tubuhku pada bagian pintu. Air mataku sudah mengalir deras. Tubuhku merosot, aku tidak bisa menahan kesakitan ini.

"Ma'am?" Itu Taehyung. Ia datang bersama dengan Ennik. Wajah mereka tampak sangat khawatir. Aku mengusap air mata di pipiku dan tersenyum. Taehyung membantuku berdiri. Pikiranku melayang kemanapun. Kepalaku mendadak pusing tetapi aku ingin masuk ke kamar. Aku memijak lantai lalu semuanya tampak buram.

***

Aku terbangun dengan infus di lengan kananku. Aku tidak ingat apapun selain ibu mertuaku yang datang tadi siang. Aku bingung kenapa aku ada disini. Taehyung tertidur sambil duduk di kursi di sampingku. Aku melihat jam yang menggantung. Sudah pukul dua belas malam ternyata.

Aku mencoba untuk duduk. Kepalaku masih sedikit pusing dan aku haus. Aku membangunkan Taehyung di sampingku. Ia langsung terbangun dengan mata yang memerah. Maafkan aku karena mengganggu mimpi indahmu.

"Bagaimana?"

"Aku haus." Taehyung langsung mengambil minum untukku. Ia lalu membantuku untuk minum. "Kenapa aku disini?"

"Tadi siang kau menangis, lalu tidak sadarkan diri. Aku langsung membawamu ke rumah sakit. Aku tidak tahu kau kenapa. Aku pikir kau memiliki penyakit lalu kambuh. Dokter bilang, kau hanya kelelahan dan banyak pikiran. Tadi kau sempat histeris hingga dokter memberikan penenang."

"Begitukah?" Aku tidak mengerti aku sampai seperti itu.

"Ya," Taehyung mengambil jemariku. Menggenggamnya erat. "Ada apa? Bicaralah padaku."

"Ibu Charlie. Yah, mungkin kau juga tahu."

"Bunny, berbagilah denganku. Melihatmu histeris tadi sore membuatku sangat khawatir denganmu." Taehyung terlihat sangat khawatir padaku. Genggaman tangan kami makin menguat—tetapi sangat lembut bersamaan. Lalu, aku bercerita soal ibu Charlie yang datang tadi siang.

Selama bercerita, aku menangis. Aku tidak kuasa menahan semua ini. Kurasa, hidupku akhir-akhir ini hanya dihabiskan dengan menyeka air mata. Taehyung memelukku. Mengucapkan kata 'semua akan baik-baik saja' yang nyatanya aku tidak bisa baik-baik saja. Taehyung juga mengelus rambutku dan memberikan kecupan-kecupan kecil di kepalaku. Ini menenangkan.

ʙᴏᴅʏɢᴜᴀʀᴅ ᴀғғᴀɪʀ ● ᴛᴀᴇᴋᴏᴏᴋ-ᴄʜᴀʀᴋᴏᴏᴋTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang