"aku... cuma lagi capek aja," adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir reina.
kalimat penuh senarai yang menjelma jadi senandika.
jeno menghela napas pelan, sangat pelan sebab takut membuyarkan pandang awang si gadis gelap terang.
awalnya jeno ragu. relung hati berisi spekulasi negatif yang tak dapat dihindari. apa dia terlalu gegabah?
bukankah membagi beban merupakan kewajiban sesama manusia? ditambah reina juga langganan kafe lentera sudah sejak lama kan?
tapi semua pikiran itu buyar kala reina menceritakan sedikit demi sedikit beban.
"aku capek memenuhi ekspetasi orang. capek buat menuruti semua kemauan orang─sedang kemauanku sendiri sering kali gagal diwujudkan,
sahabat, orang tua, semuanya. seolah aku nggak berhak hidup bebas, giliran 'bebas' sudah aku raih, 'bebas' itu malah hilang seperti nggak pernah datang."
jeno takzim, diam-diam menelisik wajah tenang reina saat bercerita; indahnya lagi, gadis itu malah sibuk mengamati purnama. sama seperti namanya.
dan jika tidak salah, netranya menangkap bulir air di tepi mata reina, hilang sekejap dalam beberapa kedipan.
"asa, kita nggak selamanya bisa terus-terusan nekan diri begitu,"
jeno meraih jemari reina diatas meja.
"pasti bakal ada waktu dimana kita ngerasa capek. kayak yang barusan kamu bilang,"
"justru karena itu, seharusnya kamu sadar kalau makin hari makan kuat."
si empunya menoleh, "makin hari aku bukannya tambah kuat, malah makin lemah. susah banget ya ternyata, menuhin ekspetasi orang,"
jeno lagi-lagi mengorbit seulas senyum, "berhenti buat menuhin ekspetasi orang, perlihatkan ke mereka kalau kamu nggak seperti yang mereka pikir.
mulai sekarang, jadi diri sendiri ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
muara ✓
Fanfictiondua insan patah pendamba rumah ekuator © 2020 cover by kanemine.