18 / lutur melebur

336 121 14
                                    

asak kepul materi pelajaran dijejal meruyup pada rasio kepala. berdengung, menggores musabab luka mati rasa.

reina berbaring, objek kesukaannya malam ini tak lain tak bukan ialah langit-langit kamar. bergaris persegi, polos tanpa corak atau sesuatu yang menyenangkan.

kosong.

sesekali mengukir senyum melalui bibirnya yang ranum. ia ingat jeno dan segala kalimat penenangnya. perihal bagaimana dirinya bisa merasa aman dan didengarkan.

sedetik usai itu, lengkung bak sabit rembulan kian luntur digantikan senyum semu. sampai detik ini, ia masih disibukkan dengan hindar-menghindari teman dekatnya-terutama kania. mau sampai kapan? reina lelah terus menerus sendirian.







"reina,"

akses menuju bilik tempat reina beristirahat diketuk beberapa kali. menghasilkan debum pelan, kemudian anak hawa ini bangkit. mendatangi ibunya yang menanti dibalik pintu.

"kenapa, ma?"

"ayo ke ruang tengah. mama mau bicara,"

lantas dengan sembrono indera penciumannya menghembus karbondioksida, kalau sudah begini pasti ibunya hendak membicarakan sesuatu yang penting.










"satu semester lagi, kamu lulus,"

reina mengangguk, "lalu?"

"susul papa ke kanada, kamu mau diberi jabatan penting disana. mau ya?" mata cokelat tua milik sang ibunda menilik, menggambarkan sorot sarat memelas.

senyap.

reina berpaling memandang entitas lain yang bukan ibunya.

"ini demi kebaikan kamu."

demi kebaikan mama, maksudnya?

selama ini reina selalu menuruti perintah orang tuanya, harus begini, harus begitu. namun untuk yang kali ini, bolehkah ia egois sekali saja?

taruni itu menggeleng, "aku nggak—"

gurat rupa ibu mengeras, "kamu ingat 'kan? alasan dari dulu selalu mama sekolahkan di almamater terbaik?"

"ini semua mama lakukan demi kebaikan kamu—masa depan kamu. supaya kamu jadi orang yang berhasil,"

rupa wajah sang ibu kembali menghalus, "mama yakin kamu bisa lulus dengan baik. dan mama tau kamu nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. mama yakin sekali."





menelan ludah, reina siap akan segala kemungkinan yang hendak ibunya lontarkan kemudian.

"aku nggak mau, ma," suaranya serak memelas, berlanjut dengan pandangan mengabur. ia menunduk.

reinasa. asa. harapan. persetan dengan arti namanya, reina hanya ingin bahagia. ia lelah hidup dibawah penuturan orang di sekelilingnya, akan ekspetasi yang perlahan menggerogoti nyawa.

reina lelah hidup sebagai boneka.

ia letih melangkah dengan paksaan dan ego setiap insan.


"aku capek nurutin mama terus, aku mau melangkah dan memilah sesuatu menurut kehendakku. aku sudah dewasa, ma,"



brak!

permukaan tangan sang ibu dipertemukan oleh meja kaca—berdebum.

rumah yang tadinya hangat teralih jadi ruang siuh penat. tidak ada lagi angan yang reina taruh di awang. ia ingin selesai.


"mama nggak pernah minta kamu memberi penolakan." dengan kata lain, mau memberontak bagaimanapun juga; ia tetap akan meninggalkan jogja.

percuma.

menolak memenuhi ekspektasi orang tuanya sama dengan bunuh diri sambil berlari. namun jika yang ia pilih sebaliknya, kesimpulannya reina tidak akan pernah bebas dan bahagia.

lagi-lagi, reina letih hidup hanya sebagai boneka.

"seharusnya kamu bersyukur atas kehidupan yang kamu jalani sekarang. bukan malah menolak dan mencari pembenaran."







"siapa yang mencari pembenaran sih, ma? semua yang kubilang fakta. aku capek terus-terusan menuhi ekspektasi mama! coba hitung berapa kali aku milih jalanku sendiri? nggak ada, ma,"

reina mengusap kasar air mata yang mulai jatuh menghias pelipisnya. "barang sekali mama nggak pernah biarin aku bernapas dengan oksigen yang mau kuhirup sendiri."

setelahnya reina bangkit, membanting pintu rumah—berlari tak tahu arah.





membiarkan gerimis yang merangkap menjadi hujan menyambangi tiap inci raganya.

malam itu, si rembulan dari jogja menangis dalam dekap tirta yang jatuh dari nabastala. agaknya semesta ikut andil dalam duka yang ia rasa.

hampir lupa, aditokoh yang menjadi penawar nelangsa juga belum kembali.

lalu reina mempercepat gerak lari. yang ia rasa kini serupa; kosong, hampa, ingin mati.

acap kali ia berdoa ingin hilang nyawa saja, apa ini pertanda tuhan mengabulkan doanya?

sebab usai itu, sakit yang reina rasa luntur, melebur. bersamaan dengan suara kuda besi melaju menjamah raga yang bawa.




hal terakhir di ingatan reina sebatas bunyi klakson dan ambulans yang memekik telinga.

nyatanya aku tidak bisa bahagia tanpa adanya kamu, jenodera.

nyatanya aku tidak bisa bahagia tanpa adanya kamu, jenodera

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
muara ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang