bak dicengkram, dua bilah netra menawan itu bernaung ke luar jendela, menatap dedaunan. sedang rungu dihias suara merdu, tambah dengan lipatan dahi yang makin menjadi.
reina lalu menggumamkan tanya, "kita mau kemana jen?"
hening, pandangnya teralih pada retina kelam milik sang taruna. yang ditatap hanya mengerlingkan senyum, raut wajah isyaratkan kata rahasia. jadi sang gadis hanya mendengkus, memalingkan wajah lagi pada dedaunan yang menghiasi jalan dibalik kaca jendela bus kota.
duh, kalau begini jeno jadi gemas sendiri kan?
telapak tangannya mengacak surai pekat reina sebelum akhirnya melepas satu headset dari telinga si anak hawa.
"lagu apa sih?" jeno memasang perangkat audio itu ditelinga.
"nggak tau, dengerin aja," balas reina malas, masih kesal sebab tahu-tahu diajak keluar tanpa aba kemana arah tujunya? tanpa rencana, muncul di beranda rumah, lalu menggandeng tangan dengan dalih mau diajak jalan-jalan.
"candu sampai ke nadi," celetuk jeno
"apa?" reina membenarkan posisi duduknya.
"kamu,"
"hah?"
"judul lagunya, candu sampai ke nadi,"
mampus, hampir saja tangkai hatinya jatuh sekali, untung tidak jadi. walau begitu, rupa yang merah semu tidak bisa berbohong perihal rasa dan getar aneh dalam dada.
🎨
lekas pulih.
telapak tangan jeno mencengkram botol air mineral dengan kuat. memori perihal luka yang dahulu pernah menganga, dibalut plester yang setengah terbuka.
sebab sejauh ini jeno rasa, hendak sekuat apa dipisahkan yojana, sosok itu tetap akan amerta.
bak sepanjang jalan mengarungi lautan, sebanyak apa hatinya berhenti pada tiap-tiap dermaga, derap langkah dan pijak hempas tapak kaki akan selalu kembali pada si pemilik hati.
sayangnya jeno kalah telak.
terlanjur memberi seisi hati dan siuh rasa tanpa diminta, lantas yang didapat hanya suara merdu, syahdu, membahas penolakan kelewat lembut.
jeno salah besar.
"jen, kenapa?"
reina merendah, menengadah, mencari wajah jeno yang menunduk. diikuti pancar amarah, lelah.
"nggak apa-apa cantik," kata jeno, tanpa menengok ke taruni disebelahnya. sedang tangan kanannya lihai melempar botol yang tadi diremas ke tong sampah.
"udah enggak baper, jangan coba goda aku ya jen,"
jeno tertawa renyah, menarik pergelangan tangan reina guna ditempatkan dibalik saku jaketnya.
"tadi kamu kenapa sih, jen? bilang aku harus senyum seharian ini, tapi kamu sendiri cemberut," reina menarik kembali telapak tangan dibalik saku milik jeno, namun jelas ditahan.
"nggak apa-apa, cuma kangen rumah,"
reina menilik, mengernyitkan dahi memastikan dirinya tidak salah dengar. "kalau kangen rumah ya pulang dong, jen? ngelamun nggak bakal mengobati rindu,"
"harus ya?"
"harus apa?"
"kalau rindu pulang?"
semu angin menerbangkan helai rambut reina yang tadinya di sisi telinga jadi menjauh kebelakang. dengan yakin mengangguk.
sayang penafsiran rumah bagi reina tidak seutuhnya benar.
ingat: lekas pulih ya, hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
muara ✓
Fanfictiondua insan patah pendamba rumah ekuator © 2020 cover by kanemine.