inderanya tidak salah mendengar atau melihatkah?
pertanyaan itu terbesit dalam benak, tidak berhenti barang sejenak. lantas kelopak mata reina katupkan, berpikir barangkali selepas ptah hati, raganya malah berhalusinasi.
taruna yang kerap disapa jeno itu duduk di sebelah reina, menepuk pundah sang hawa, "hei... aku barista dari kafe di ujung jalan sana,"
reina mengedipkan netra: dia nyata bukan delusi semata.
bebarengan dengan kemilau lampu kendaraan, reina mengangguk, "iya, tahu," balasnya tak menentu.
lagipula, reina tidak sedikit saja menaruh curiga pada jeno.
parasnya terlalu rupawan, menenangkan bak hembusan angin malam. tidak ada rasa asing yang jeno ciptakan, tidak ada canggung yang berlebihan, yang ada hanya rasa nyaman, dan apapun itu yang reina kewalahan jika diminta menjabarkan.
"jadi... mau aku antar pulang?"
reina diam, menimbang sebentar. matanya menilik pada jarum jam di pergelangan tangan.
"santai aja, nggak ngerepotin, kok,"
"ya udah," balas reina akhirnya. dia menyerah, mau menolak, tidak enak.
jeno berjalan mendahului reina, sedang gadis itu tidak berusaha mensejajarkan langkahnya.
dalam hati reina merutuki diri, apa pilihannya tidak salah kali ini?