12.
melukis potret
lara kesekian
"sendirian rei?""kelihatannya?"
jericho malah terkekeh mengikuti arah pandang reina, "masih aja sarkas kayak dulu,"
"ya kamu pakai tanya segala, udah tau aku sendirian disini,"
"kamu nggak niat tanya gitu, kenapa tahu-tahu aku bisa muncul dihadapanmu?"
reina menggeleng, "enggak, dan nggak mau tahu,"
"kalau gitu biar aku kasih tau,"
"nggak kudengerin,"
"batu banget sih,"
"biarin," telapak reina yang tadinya menggenggam kalung dengan blak-blakan, disembunyikan. dia letakkan dibalik saku celana.
karena pada dasarnya jericho kurang pandai basa basi, maka; "aku kesini... mau nemuin kamu, rei," ujar jericho setengah gugup, kelihatan ribut tapi sukses tersamarkan.
sedang reina diam, enggan menyela sebab sepertinya sang taruna belum selesai bicara.
"... mau minta maaf,"
lantas yang dirasa reina berikutnya adalah pandangan mata yang mengabur, pudar. hampir setitik tirta menetes tetapi buru-buru diusap dengan ibu jari.
"kamu nggak perlu minta maaf, cho. kamu nggak salah,"
"aku salah rei, harusnya sejak awal aku nggak mulai ini semua,"
si gadis menyela, "nggak cuma kamu, kita berdua yang memulai. kita berdua udah tau konsekuensi akhir kisah kita bakal begini, tapi masih batu aja maksain buat sama-sama,"
bentala jogja, bisa tidak engkau diajak kooperatif sekali saja? anak hawa ini kepalang muak dengan segala cara kerja semesta.
"seandainya sehabis dijodohin, aku nggak deketin kamu rei, pasti semua nggak akan begini. kesannya kayak main-main," jericho menjambak surai kelabunya, "padahal aku nggak cocok sama ceweknya,"
entah apa sebabnya, jemari reina menjeremba pada punggung tangan jericho yang masih menarik kasar surainya, "jangan ditarikin gini, sayang rambutnya,"
duh kelepasan. malu.
jericho mengorbit lengkung tipis, menurunkan telapak reina pada meja, "iya-iya," lantas digapainya kantung plastik warna putih disisi kanan kursi.
benda dibalik kantung itu dihempas pelan, dipertemukan pada permukaan meja yang menjadi pembatas dirinya dan reina. "kemarin aku sengaja kursus lukis sehari,"
"buat ngelukis kamu, rei," si adam tahu-tahu terkikik dengan jenaka, ah lucunya. sayang seribu sayang sudah bukan milik reina.
sedang taruni itu masih bungkam, adorasi si adam kelewat berlebihan buat mereka yang sudah hilang ikatan. ah si gadis mengaduh lagi, mengapa pula potret memora luka itu kembali menganga?
reina bingung mau merespon apa.
"rei? kenapa? nggak suka?"
cepat-cepat reina menggeleng, "suka kok! bagus," katanya disusul senyum tulus, netranya mengerling bening, sepenuhnya tidak dusta.
tetapi,
ketimbang senang,
kenapa... rasanya cenderung perih?"bukan bagus, tapi cantik. soalnya kamu yang kulukis," arjuna ini berkata terlalu apa adanya, tidak ditutup-tutupi sedikit saja. seakan belum paham jika si gadis mati-matian menahan debaran.
"iya... makasih, cho,"
"sama-sama,"
kemudian telapaknya merengkuh jemari reina,"tangannya kupinjam sebentar, sebelum nggak tahu kapan lagi bisa genggam,"
bhumi yogyakarta,
20 september
KAMU SEDANG MEMBACA
muara ✓
Fanfictiondua insan patah pendamba rumah ekuator © 2020 cover by kanemine.