alun-alun kota yang tadinya seringkali jeno kunjungi bersama gita. kini lagi-lagi menjadi tempat mereka bersua.pukul lima sore, dibawah naungan langit senja yang mulai menampakkan coraknya. dua hari setelah jeno menginjakkan kaki kembali pada tanah kelahiran.
semarang tidak pernah mengecewakan. setidaknya untuk gita—bukan jeno tentunya.
"kamu apa kabar?" gita buka suara
keduanya tidak saling menatap, melainkan mengunci pandang pada hampar luas lapangan.
"baik, kamu?"
si hawa menghela napas, mengepal jemari kanan lantas dihempas. "baik juga."
selepas itu, hembusan angin petang sukses menerbangkan ingatan. menjatuhkannya pada rumpun memori yang sebagian sudah berusaha jeno lupakan.
pemuda itu ingat bagaimana dahulu disini, ditempat ini. kala jemarinya diraih oleh taruni disebelahnya. setelah ratusan hari mereka lalui bersama, bahagia, susah, gundah, semua.
tapi kan, mustahil laki-laki dan perempuan sahabatan tanpa salah satu memendam perasaan.
tahu kejutannya apa?
jeno jatuh cinta pada gita. pada kesederhanaan dan lengkung kurva menawan.
dahulu, jeno pernah berkata begini sebelum melangkah kaki menuju kota seribu asmaraloka:
"you are my home,"
yang lalu dibalas gita dengan, "and i'm not home anymore,"
lalu sesak seenaknya memekik seisi dada si pemuda, kaset lawas di kepalanya ini menolak berhenti menayangkan impresi.
"jen, selama disana, kamu bahagia nggak?"
lamunan yang tadinya jeno ciptakan buyar, "bahagia," walau tidak juga
"ceritakan," pintanya
jeno memberanikan diri menatap gita, "tentang apa?"
"kamu dan jogja,"
mulanya, "nggak ada yang spesial, sih,"
namun kemudian seulas senyum merekah, "aku kuliah biasa, kerja part time. lalu ada satu anak manusia yang membuatku bertanya mengenai arti bahagia,
dari dia, aku belajar bahwa bahagia nggak melulu dengan jadi sempurna. dan, orang yang terlihat sempurna, belum tentu hidupnya bahagia,"
hati jeno menghangat, berlawanan dengan sesak yang bergiliran menyusup pada ruang dada gita.
jadi ini ya, yang jeno rasakan ketika ia tampik perasaannya?
"dia siapa?" tanya gita kemudian, walau tahu jawaban si arjuna hanya akan mengiris hati.
dan dengan bangga, "reinasa, temanku. cantik ya namanya?"
"iya. pasti orangnya juga,"
gita tersenyum getir, mau menyalahkan semesta nyaris tidak bisa. kota dengan seribu lawang ini pada akhirnya hanya menyisakan kenang.
ia sadar persis letak kesalahannya dimana.
maka sebelum jarak dan waktu kembali memisahkan mereka; "jeno, aku mau jujur satu hal ke kamu,"
si adam menggeser raga, mengikis jarak yang semula sejauh dua hasta jadi setengahnya.
"apa?"
"penyesalan selalu datang belakangan, kamu tau?
dan aku menyesal karena nggak menyadari sejak awal bahwasanya perasaan ini kamu yang memiliki,"
menyadari ada yang tidak beres, jeno menyela, "tunggu sebentar, maksudnya—"
"iya. aku jatuh cinta pada mahakarya pencipta yang hadir dihadapanku saat ini. kamu, jen,"
"—tapi semuanya sudah terlambat."
gita meraih punggung tangan jeno, "pinjam tangannya sebentar, sebelum nggak tau kapan lagi bisa genggam,"
"pinjam raganya sebentar juga boleh. asal nanti biarkan kapal ini melaju kembali pada tempatnya bermuara. pada dermaga yang menanti di lembayung langit yogyakarta,"
lantas gita membiarkan air matanya lolos dalam dekap si taruna.
KAMU SEDANG MEMBACA
muara ✓
Fanfictiondua insan patah pendamba rumah ekuator © 2020 cover by kanemine.