15. Telat

329 22 1
                                    

Weekend Sabtu Minggu telah berlalu. Berjumpa lagi dengan hari yang biasanya tak dinanti-nanti oleh para manusia malas di negeri ini. Gibran Setiawan lah contohnya.

"Bang Gibran. Buruan!" teriak seorang gadis didepan pintu rumahnya.

"Abang buruan nali sepatunya. Kasihan adekmu nanti telat."

" Gibran males berangkat mah" ucap Gibran seraya menali sepatunya.

"Kamu itu laki-laki Bran.. Yang semangat dong sekolahnya. Suatu saat juga kamu bakal ngerasain jadi papah, jadi pemimpin, harus kerja keras banting tulang. Masa ikut upacara aja males. Bukan anak papah banget" ucap Wahyu, papah dari Gibran dan Opi.

"Tau nih. Timbang berdiri aja kok repot."

"Cape mah berdiri mau satu jam, panas juga. Belum lagi kalo ada pengumuman "

"Halah. Baru begitu aja ngeluh. Nanti ayah coret nama kamu di kartu keluarga."

"Ah papah gak asik. Mainnya ancaman." kesel Gibran.

"Bang Gibran. Gue berangkat dulu aja!!"

Teriak Opi lebih keras dari sebelumnya.

"Udah sana cepet anterin adek kamu. Udah jam segini juga." perintah sang papah.

"Iya-iya. Gibran berangkat dulu mah pah"

Tak lupa ia mencium punggung tangan keduanya.

"Assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam.." kompak suami istri.

"Hati-hati sayang" lanjut Sintia.

"Iya mah.."

Baru dua langkah kaki cowo beralis tebal itu menginjakan lantai luar rumahnya. Sebuah pukulan keras mendarat di punggung kanannya.

"Aduh. Sakit setan." bentak Gibran.

"Lelet banget lo jadi cowo. Cuma nali sepatu aja lama bener." melipat kedua tangannya didepan dada.

"Gue males ikut upacara ditambah lagi harus nganterin lo."

"Gue juga males dianter lo. Kepaksa aja karna papah yang nyuruh. Berangkat jadi siang gini. Nyesel gue nurutin kata papah."

"Banyak omong lo. Buruan berangkat."

Keduanya kini meninggalkan rumah berpagar hitam itu. Motornya sekarang berada di jalan raya menuju sekolah adeknya.

"Abang. Buruan dih nyetirnya. Udah siang banget." memukul bahu kakaknya itu.

"Pegangan yang kenceng." titah Gibran.

Demi sambel kacang ciloknya Mbak Jai yang ada di kantin. Saat ini Opi hanya berdoa dalam hati supaya bisa sampai sekolahnya dengan selamat. Sejak kapan kakaknya itu menjadi saingan Valentina Rossi. Tiap kali ada polisi tidur main bladas saja. Tiap kali ada tikungan, ia miringkan motornya 90°. Jantung siapa yang tak mau copot kalau begitu. Abangnya itu melajukan motornya dengan sangat tidak hati-hati.

"Alhamdulillah selamat" Opi mengelus dadanya.

"Gimana aksi gue dijalan? Keren gak?"

"Lo mau bikin gue mati bang?"

"Hahaha. Enek gue liat muka lo sekarang."

"Pergi sana lo!"

"Oke. Gue pergi. Bye."

Tak menghiraukan ucapan abangnya itu, Opi langsung buru-buru masuk sekolahnya.

"Loh? Kok gerbangnya nutup?"

"Bukannya ini hari Senin?"

"Kalender rumah gue salah apa gimana?"

"Jangan-jangan gue telat?"

"Jam berapa sih ini?"

Ia melihat jam tangan hitam yang melingkar ditangannya.

"Sialan. Udah setengah 8. Upacara pasti udah mau dimulai."

"Semua ini gara-gara Bang Gibran." geram Opi.

"Awas lo bang!"

Gadis itu jadi sibuk ngomong sendiri. Kepalanya celingak-celinguk mengamati suasana sekolahnya yang sepi. Tiba-tiba Mang Udin datang dengan tongkat satpam disaku kanan celananya.

"Mang Udin. Bukain gerbangnya." teriak Opi.

"Loh, neng Opi kok diluar? Upacara udah dimulai loh dibelakang" menghampiri seseorang yang ada di luar gerbang.

"Makanya, Mang Udin bukain gerbangnya, Opi gimana mau masuk?"

"Oh iya neng iya. Tunggu, Mang Udin ambil kuncinya dulu."

"Cepetan mang!" ucap Opi terburu-buru.

"I. Iya neng iya." jawab gugup Mang Udin.

Tak butuh waktu lama, gerbang warna merah maron itupun terbuka. Buru-buru Opi lari masuk kedalam sekolahnya. Ia tahu saat ini Mang Udin sedang tidak sadarkan diri.

"Mang Udin makasih banyak ya." teriak Opi disela-sela larinya.

"Sama-sama neng. Jangan lari-lari nanti jatuh." teriak Mang Udin saat cewe itu sudah jauh dari dirinya.

"Kok saya ngerasa ada yang aneh ya. Tapi apaa??"

Pria paruh baya itu nampaknya sedang berfikir. Mengingat-ingat sesuatu yang membuatnya janggal.

"Waduh" menepuk jidatnya sendiri.

"Ini kan sudah masuk jam upacara. Kenapa tadi saya bukain gerbang buat neng Opi."

"Pantes aja dia lari ngibrit kaya tadi. Haduuuuuhh. Ya udahlah biarin aja. Itung-itung amal buat Si Preman"

Pagi itu adalah hari kedua Opi telat datang ke sekolah. Itupun karena ulah dari abangnya yang bermalas-malasan. Meski cewe yang kerap disebut-sebut preman itu terlihat cuek dan petakilan, diluar itu semua ia masuk dalam kategori siswa yang rajin datang cepat berangkat ke sekolah.

PERMEN KARETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang