"Kali ini aku bisa merasakan, bahwa kamu adalah takdir yang Tuhan titipkan untuk aku jaga"
Dinda yang menuruni tangga melihat sosok pria dengan tubuh tegap, rambut berjambul manja, dan raut muka yang biasa aja. Dinda tersenyum saat melihat Verdi yang duduk di sana, segera Dinda mendekati ruang tamu dan duduk di kursi sebelahnya.
"Tante tinggal dulu ya!" pamit Bu Sella yang kini sedang berdiri, dengan maksud untuk meninggalkan mereka berdua. Verdi dan Dinda mengangguk bersamaan.
Beberapa menit mereka hanyalah diam membisu. Entah kenapa, yang pasti mereka masih ragu karena baru saja bertemu.
"Lo udah lama nungguin gue ya?" tanya Dinda sambil membuka buku yang akan ia bahas dengannya. Matanya tak menatap Verdi, namun tetap berada dalam tulisan-tulisan itu.
"Gue baru." jawab Verdi yang kini juga asyik memainkan ponselnya.
Suasana kini menjadi hening, semuanya bagaikan terhenti begitu saja. Mereka bertatapan sejenak dan akhirnya memalingkan pandangan asal ke segala arah. Canggung.
"Lo udah makan?" tanya Dinda peduli. Verdi masih memakai pakaian batik sekolah jadi ia belum sempat untuk pulang ke rumah.
"Belum."
"Ya udah makan dulu yuk, kebetulan Bunda baru selesai masak buat makan nanti malam." Verdi menatap Dinda lama, penuh tanda tanya.
"Kenapa? Gak usah grogi gitu lah, gue tau gue cantik, tapi nggak usah segitunya mandang gue." kata Dinda centil.
"Gue belum laper. Udah materi mana yang mau dibahas?"
"Oh iya ini materi yang gue nggak bisa, bantuin dong." Dinda merayu Verdi untuk segera mengajarinya, dari pada menunggu kelamaan. Buat suasana badmood dan saling berpandang tak jelas.
"Coba lihat." kata Verdi lalu mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Dinda. Mereka duduk di karpet dengan meja berisi buku berada di depannya.
Mereka mulai memahami materi dan mulai mengerjakannya. Tak lupa mengajarkan dengan penuh kesabaran. Mata mereka kembali beradu, tetapi sudah biasa menurut mereka. Kadang suasana berubah menjadi sangat nyaman dengan berbagai hal konyol yang dilakukan oleh Dinda.
Sekarang tidak ada kata jaim antara mereka. Sikap mereka sekarang biasa saja, bahkan tidak menunjukkan perasaan grogi sama sekali. Mereka berubah dan yang paling kentara adalah Verdi.
"Ver," panggil Dinda tak ragu, Verdi hanya berdehem tanpa niatan menatap gadis di sampingnya. "Lo ngerasa aneh nggak sih?"
"Aneh kenapa?" tanya Verdi bingung.
"Ya aneh aja, kita kan baru dua hari bertemu ya, tapi udah seakrab ini." terang Dinda tak percaya dengan takdir.
Verdi berhenti memahami materi, ia mengubah posisi duduknya lalu meminum minuman yang ada di dekatnya. Dinda pun mengikuti dengan minumannya sendiri.
"Aneh." balasnya cepat.
"Gue rasa... di dunia nyata nggak ada deh orang yang seperti ini buat bisa akrab." pikir Dinda lalu mengunyah makanan ringan.
"Siapa bilang, ada kok," jawab Verdi masih sinis, Dinda mengernyit menatap Verdi menginterogasi, "kita." seketika mereka tertawa, siapa yang memulai? Dinda.
"Selain kita ada nggak yang seperti ini? Kalau gue lihat di lingkup gue sih ada tapi cuma segelintir dan itu yang memulai juga orang receh kayak gue." tawa Dinda semakin keras.
"Coba lo lihat orang yang cari duit lewat perbuatan yang melanggar agama, yang bisa semaunya menuruti perintah dan menghasilkan. Mereka bisa secepat itu kan buat akrab dan hasilin duit?" Dinda mengangguk mengikuti arah pembicaraan Verdi.
KAMU SEDANG MEMBACA
VerDinda [SELESAI]
Teen Fiction[Tahap Revisi] Cerita ini meliput kisah asmara antara Verdian dan Adinda, dapat dikata pertemuan itu cukup singkat. Banyak yang menyukainya, banyak yang menginginkannya. Namun ditengah percintaannya, sebuah insiden besar terjadi, banyak kasus yang h...