34. Hujan dan Clara

845 29 1
                                    

"Hujan dan kenangan itu kamu, dingin dan susah dilupain, apalagi kamu buat hati aku semakin merindu."

"Yah, mendung, Ver."

"Kita pulang aja." ucap Verdi menyudahi pertemuan di kafe tersebut, setelah melihat awan hitam menggumpal di atas sana.

Dinda pun mengangguk. "Ayo, keburu hujan." balasnya menyetujui, membuat mereka berjalan keluar dari kafe itu, beriringan.

"Hujannya nggak ingat moment ya." celoteh Dinda disela jalannya.

"Kenapa?"

"Kan kita baru berduaan, kenapa sekarang malah hujan terus? Apa nggak ngerestui kita berdua?" katanya lalu memekik. "Ver, hujannya deres!!!" lanjutnya berlari bersama Verdi menuju parkiran mobil.

Seketika hujan mengguyur lebih deras dari esok tadi. Untung saja mereka sudah sampai di dalam mobil, meskipun harus berlarian kecil dan terkena terpaan angin yang membawa derasnya hujan. Sedikit membasahi baju mereka sih!

"Untung udah sampai." lega Dinda.

"Kamu kalau hujan, keluarnya jangan lupa bawa payung, kalau ada geledek mending di rumah aja nggak usah keluar rumah." tutur Verdi sambil mengelap wajah yang terkena air hujan dengan tisu kering dalam mobil.

"Aku udah suka hujan, Ver, waktu kecil jarang sekali main hujan sama teman-temanku apalagi sama Bang Andre. Alasan bunda, dia takut kalau aku sakit." nanar Dinda lalu tertawa pecah saat itu juga, ia melihat hujan yang semakin deras dari balik kaca mobil.

"Bertahun-tahun lho aku nggak dibolehin, cuma lihat temen-temen dari balik jendela kamar dan merenung sendiri malah."

Tangan Dinda keluar, menengadah lalu berniat mencipratkan air itu ke muka Verdi yang sudah kering.

"Aku udah tahu itu." kata Verdi enteng yang mana mendapat tatapan dingin dari Dinda, "kamu udah pernah bilang, Din." lanjutnya mencubit gemas pipi itu.

"Dinda, jangan main hujan! Basah lagi, kan!" pekik Verdi mendapat senyuman. Tangan Dinda maju untuk membersihkan wajah itu dengan tisunya.

"Maaf deh, aku bersihin sekarang." tawanya menang.

Verdi segera melajukan mobilnya kurang dari kecepatan rata-rata. Sedari tadi suasana hening, hanya terdengar deruman mobil dan air hujan yang menyentuh permukaan bumi.

"Mau main hujan?" tawar Verdi pelan berhasil membuat gairah gadis itu bangkit. Dirinya mengangguk pelan lalu tersenyum ke arahnya.

"Tentu lah, aku mau." singkatnya lalu melepas tas yang ia selempangkan. Verdi tersenyum tulus ke arahnya.

Pria itu menghentikan mobil lalu memarkirkannya, melihat luar jendela mobil yang menampakkan hujan sudah tidak terlalu deras.

Mungkin dalam hatinya ia tidak mau melakukan hal ini sebab ia takut jika Dinda demam, sama seperti keluarganya yang mengkhawatirkan kesehatan gadisnya. Namun otak perasanya berbanding terbalik dengan otak pemikirnya, Verdi ingin sekali bermain hujan dengan gadis ini sekarang.

"Sebentar aja ya, aku nggak mau kamu sakit." pesannya setelah berpikir dua kali mendapat anggukkan.

Mereka pun segera keluar dari mobil dan berlarian kesana-kesini, berputar-putar layaknya seseorang yang sedang menikmati moment kebersamaan.

Dinda tertawa bahagia, membuat Verdi juga ikut larut dalam kebahagian itu.

"Ver, kita main kapal-kapalan yuk."

"Dimana?" tanya Verdi mengelap wajahnya yang terkena air hujan. Keren—apalagi terkena air wudhu.

"Itu ada danau, seru pasti kalau main disana." Dinda menunjuk sebuah danau kecil yang berada tak jauh dari tempatnya. Verdi mengikuti mata Dinda yang berputar menatap jauh disana.

VerDinda [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang