Happy Reading
Vanya menelfon Dinda pagi-pagi buta, jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Belum ada cahaya mentari yang menyelinap masuk ke kamarnya memberi kehangatan.
"Kak gawat, gawat kak, Kak Verdi..." suara di seberang sana terdengar khawatir, resah dan menangis.
Dinda yang mendengarnya pun ikutan panik, ada apa?
"Kak Verdi kenapa, Van? Van-Vanya Kak Verdi kenapa?" kata Dinda ikutan panik. Wajahnya bingung dan hampir menangis.
"Kak Verdi keadaannya makin parah, Kak. Kakak ke sini cepat, dari tadi dia panggil nama kakak. Pliss kak, Vanya mohon. Kakak ke sini ya." pinta Vanya diakhiri jeritan histeris memanggil nama Verdi dengan balutan tangis yang kian menjadi. Suara ponsel yang jatuh semakin menambah kekhawatiran.
Dinda terlonjak kaget, pikirannya mengarah tertuju pada Verdi. Dinda menangis kacau, ia takut Verdi kenapa-kenapa.
"Gue harus ke sana sekarang." Dinda langsung mengambil tas dan berlari ke ruang bawah. Matanya terus mengalir air mata, pikirannya hanya satu. Verdi.
Untung saja ia sudah memakai pakaian rapi karena sebentar lagi ia akan terbang, pergi meninggalkan negara kesayangan. Namun keceriaan seketika lenyap setelah mendapat kabar bahwa Verdi dalam kondisi buruk.
"Mau kemana?" tanya Andre mendapati Dinda berlarian dengan air mata bercucuran.
"Ke tempat Verdi, Bang. Keadaannya memburuk, gue harus ke sana." Dinda langsung meneguk segelas susu yang tersedia di atas meja.
"Tapi dua jam lagi lo terbang." ujar Andre mengingatkan Dinda.
Dinda terdiam sebentar. Mati kutu di tempat. Sial! Bisa-bisa ia ketinggalan pesawat. "Gue bisa bagi waktu, Bang. Gue harus ke sana dulu. Jangan halangi gue."
"Ya udah gue anter. Ayo." sahut Andre semakin bingung terbawa emosi. Ia langsung mengambil jaket di kamarnya lalu motor di garasi. Seketika motor melaju penuh kecepatan tinggi.
"Bang cepet dikit, gue takut, Bang. Gue takut." cerocos Dinda mengeratkan cengkeramannya di jaket Andre. Ia menangis ingin menjerit sekeras-kerasnya, ia ingin melesat agar sampai di rumah Verdi dengan cepat.
Jalanan masih sepi jam-jam seperti ini, ada peluang untuk segera sampai tujuan tanpa terhalang. Dinda semakin bingung harus bagaimana saat ponselnya berbunyi dari Bu Rere. Ia menghiraukan menolak panggilan.
"Bang cepat!"
Tak ada yang dapat ia lakukan selain berdoa meminta agar semua baik-baik saja. Ia tak ingin kehilangan Verdi. Ia ingin meminta maaf, ia ingin memeluk pria itu dan dibalasnya dengan pelukan hangat. Semoga dan semoga lagi.
"Sabar, Din. Gue tau perasaan lo sekarang, makanya gue usaha ngebut ini."
"Din, jangan sampai lo kehilangan Verdi, lo harus minta maaf sebelum dia atau lo yang pergi." tutur Andre semakin membuat hati Dinda serasa ingin jatuh terbawa kata-kata.
Semuanya seperti ini. Hari penuh kegelisahan setelah hari penuh tangisan. Hari yang tak pernah memihaknya untuk sedetik merasakan kebahagiaan.
Tak ada keadilan yang Dinda rasakan, ia ingin berteriak dan menyalahkan, namun pada siapa jika semua letak kesalahan ternyata ada padanya?
Sepuluh menit berlalu, Dinda langsung masuk begitu gerbang dan pintu terbuka lebar. Melihat Vanya yang menangis terisak di ruang tamu dengan tumpuan kedua tangannya. Dinda mendekat bingung, tak berkutip dan mulutnya bungkam. Ia langsung naik ke atas menuju kamar Verdi membiarkan Vanya dalam tangisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
VerDinda [SELESAI]
أدب المراهقين[Tahap Revisi] Cerita ini meliput kisah asmara antara Verdian dan Adinda, dapat dikata pertemuan itu cukup singkat. Banyak yang menyukainya, banyak yang menginginkannya. Namun ditengah percintaannya, sebuah insiden besar terjadi, banyak kasus yang h...