"Jika dia benar-benar sayang. Dia pasti akan mengorbankan apapun untuk orang yang ia sayang. Percayalah"
"Mau kemana lagi, Ver? Capek gue udah. Pulang aja yuk!" ajak Dinda yang sudah terlalu kecapekkan karena seharian bersama Verdi.
Mulai dari mentari condong ke timur hingga sekarang sudah mau condong ke barat, Verdi terus mengajak Dinda berkeliling seenaknya. Apa energinya masih akan bisa stabil jika terus begini?
"Ngikut aja lah." kata Verdi santai. Dinda hanya berdecak kesal menurut tak melawan.
"Eeee—Ver, btw tadi filmnya bagus ya, gue tadi sampai merinding banget lho, ngeri gue!" kata Dinda histeris sambil memperagakan seperti orang ketakutan.
"Dan lo tau nggak, Ver, gue tadi juga ngerasa, ada yang duduk di belakang kita, padahal tadi gue lihat sepi nggak ada orang. Sumpah itu film horror banget, kebawa terus gue."
"Lo nggak ngerasa sama kayak gue, Ver?"
Verdi tak menggubris sama sekali, ia masih asyik melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Dinda pun hanya diam membisu, setelah Verdi tak menanggapi ucapannya tadi. Sehingga di perjalanan hanyalah seperti kuburan. Teramat sepi.
Dinda menyenderkan tubuhnya di kursi dengan sangat santai, terlihat seketika Verdi menatapnya sekilas, ia melihat wajah lelah milik Dinda dan tersenyum tipis.
"Kalau lo capek, lo bisa tidur."
"Emang gue bakal tidur, dan gue harap pas gue bangun gue udah ada di rumah." ujarnya lalu mencari sisi ternyaman.
Dinda menutup matanya sedikit demi sedikit, mungkin karena kelelahan akibat ulah Verdi yang mengajaknya padahal kondisi Dinda belum terlalu vit.
Jalan yang bergeronjal, lampu merah yang membuatnya berhenti berhasil membangunkan Dinda yang belum terlalu nyenyak. Namun setelah mendapat posisi tidur yang pas ia tertidur pulas dengan tangan ia lipat di dadanya.
"Lo kecapekkan gara-gara gue?" tanya Verdi melirik dan menyelipkan rambut Dinda yang sedikit mengenai wajahnya. "Cantik."
Verdi sesekali melirik gadis yang berada di sampingnya yang tengah tertidur dengan gaya sangat menggemaskannya. Ia beruntung mempunyai seorang teman, yang mana malah ia anggap lebih dari seorang teman.
"Lo lucu, nggak salah gue mau dapetin lo." ungkap Verdi tersenyum.
Dua puluh menit berlalu mereka sampai di sebuah padang rumput yang membentang luas dan sepi. Padang rumput itu membentuk barisan bukit kecil seperti bukit teletubbies. Pemandangan yang begitu indah untuk mereka berdua.
Verdi sempat ragu untuk membangunkan gadis yang tengah tertidur lelap di sampingnya. Tapi, bagaimana pun mereka sudah sampai di tempat ini. Hingga, mau tak mau ia harus membangunkannya perlahan.
"Din bangun." suruhnya masih lembut. Namanya orang sudah masuk dalam dunia mimpi, pasti susah untuk dibangunin sekali dua kali. Verdi terus berusaha membangunkan dengan menepuk pipi Dinda.
"Din!"
"Dinda, udah sampai. Lo nggak mau turun?"
"Woy!" kesalnya dengan sebuah bentakan hingga Dinda dapat terkaget bangun.
"Apaan?!" mata sipit itu terbuka perlahan. Pandangannya masih remang-remang dan belum nampak jelas. Ia mengusap kedua matanya kemudian menguap sekali.
"Euhh! Udah sampai ya?" tanya Dinda yang masih berusaha menormalkan pandangannya.
Verdi mengangguk. "Turun!"
Verdi membuka pintu sendiri tanpa membukakan pintu arah Dinda. Ia berjalan di samping Dinda dengan niatan sebuah gandengan tangan yang sedikit meragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
VerDinda [SELESAI]
Teen Fiction[Tahap Revisi] Cerita ini meliput kisah asmara antara Verdian dan Adinda, dapat dikata pertemuan itu cukup singkat. Banyak yang menyukainya, banyak yang menginginkannya. Namun ditengah percintaannya, sebuah insiden besar terjadi, banyak kasus yang h...