Minggu, hari yang biasanya digunakan untuk Verdi jalan bersama Dinda. Hari untuk berbagi kisah dan meluapkan rasa rindu untuk sekadar temu.
Sudah memasuki minggu kedua untuk Dinda tak pergi bersama Verdi. Sudah minggu ke dua Verdi dirawat di rumah sakit. Ia melewati ini sendirian dengan rasa yang beraneka macam.
"Tumben lo nggak jenguk Verdi, Din." tanya Andre saat melihat Dinda masih memakai pakaian tidur berjalan menuju dapur. Dinda terlihat asyik dengan berbagai alat dapur guna memasak sesuatu.
"Baru males, Bang. Terlalu banyak pikiran." sahut Dinda malas.
Andre berjalan mendekati Dinda, memperhatikan gerak-geriknya secara detail nampak memasak mie untuk sarapan. "Gara-gara keluarga Om Gian?"
Bukan cuma itu, gara-gara Danis juga.
"Iya."
"Lo udah ngomong sama Ayah Bunda?" lirih Andre semakin intens. Dinda pun hanya berdehem memunggungi Andre. "Terus?"
"Ya mereka kaget, nggak percaya bisa begini. Sama kayak kita." Dinda sudah menuangkan mie instannya ke dalam mangkok dan mengambil sendok untuk segera membawanya pergi.
"Apa Om Gian—"
"Udah lah, Bang, jangan bahas dulu, gue males diajak diskusi pagi-pagi. Mau makan. Laper." balasnya berjalan menjauhi dapur sambil membawa semangkok makanan panas yang beruap-uap.
"Gimana sih itu bocah?! Gue berusaha pulang minggu ini karena mau nanyain tentang itu tapi malah yang punya informasi terus-terus ngegantungin gue. Mending gini gue balik nanti sore." dengus Andre menatap kepergian Dinda.
**
Pikiran Dinda selalu terpaut akan dua masalah, satu per satu akan ia ungkap dalam waktu yang tak mungkin bebarengan. Satu tentang Clara dan satu tentang Danis. Sudah cukup dua masalah ini saja, jangan lebih, harapnya.
Ia sudah berada di rumah Verdi, tepatnya berada di depan pintu sambil mengetuk pintu dan mengucap salam.
Matanya tak henti memandang bangunan menjulang di samping rumah Verdi. Bangunan putih bertingkat bergaya luar, di depannya tumbuh berbagai macam tanaman bunga yang bermekaran terawat, lingkungan sana juga masih terlihat bersih. Apa Bibi yang merawat? Ia sangka itu rumah Clara.
"Wa'alaikumsalam, eh Non Dinda mari masuk." jawab Bibi yang berpakaian daster coklat dengan sedikit tercium aroma cabe dan bawang.
Dinda memperlihatkan giginya dan menggeleng sopan. "Nggak usah, Bi, saya buru-buru. Di rumah ada siapa, Bi, tante Rere ada?"
"Nyonya baru aja ke rumah sakit dan bapak kerja, Non. Tapi Non Vanya di rumah, mau Bibi panggilin?" tawar Bibi yang sudah menjelaskan. Dinda tersenyum mengangguk menjawab iya. "Ya udah duduk dulu, Non, biar saya panggilin."
Dinda pun menurut duduk di kursi kayu depan rumah Verdi, terus-menerus menatap rumah itu. Ia beralih menatap jendela di lantai dua yang mengarah dengan jendela kamar Verdi. Lebih tepatnya berhadapan. Dinda semakin menebak bahwa itu memang kamar Clara.
"Hai, Van apa kabar?" sadar Dinda saat seorang gadis belia muncul dari balik pintu dan berjalan ke arahnya.
"Baik, Kak." jawabnya sambil duduk.
"Kamu berani tidur sendiri?"
Vanya terkekeh, pasalnya Vanya orang penakut, takut akan adanya makhluk halus yang menghampirinya sama seperti yang di film horror yang pernah ia tonton hingga berujung ketakutan sampai detik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
VerDinda [SELESAI]
Novela Juvenil[Tahap Revisi] Cerita ini meliput kisah asmara antara Verdian dan Adinda, dapat dikata pertemuan itu cukup singkat. Banyak yang menyukainya, banyak yang menginginkannya. Namun ditengah percintaannya, sebuah insiden besar terjadi, banyak kasus yang h...