51. Tanpa Syarat

517 29 4
                                    

Jam demi jam berlalu begitu cepat. Jam hampir menunjukkan pukul lima sore.

Dinda pun sedari tadi hanya berjalan ke sana-sini tak tenangkan. Rautnya wajahnya ia tekuk, kukunya ia gigit, lalu akhirnya berujung di balik bantal. Ia tak ada persiapan sama sekali untuk memenuhi janjinya.

Ia merutuki semuanya. Mulai dari awal ia menerima pertemanan Danis, bingkisan kecil berisi kotak musik, hingga ajakan pertemuan hari ini.

Mungkin ini adalah hari tersial dirinya karena dipaksa oleh saingan tampan dari pacarnya. Dinda sangat bodoh!

Di depan sana sudah ada Alex dan lainnya. Segeralah ia melaju ke tempat di mana Danis menjanjinya. Deg-degan pasti. Itulah yang ia rasakan.

"Gue ke sana dulu ya, Lex." pamitnya setelah sampai di taman yang dimaksud Danis. Ia tersenyum paksa saat Alex dan lainnya memberi semangat agar gadis itu tak grogi dan berani di hadapannya.

Kakinya bergetar melihat pria yang duduk dengan jaket dan celana jeans membelakanginya. Itu orangnya!

"Pukul lima lewat sembilan menit." kata Danis melirik jam dan diikuti lirikan ke arah Dinda yang masih berdiri. "Lo tau itu?"

"Sori gue tad-tadi kena macet." bohongnya seketika. Ia langsung mengambil duduk di kursi sebelah Danis. Bukan di kursi Danis.

"Lo sama siapa?"

"Sendiri. Gue naik taksi." jawabnya kaku. Mukanya sudah memucat karena ketakutan. "To the point aja, lo mau apa?"

Danis langsung berdiri dan berjalan menuju sebelah Dinda. Padahal kursi itu hanya mempunyai panjang satu meter, otomatis Dinda sedikit bergerak ke samping agar tak terlalu dekat. Danis tersenyum melihatnya.

"Lo pucet banget." pergok Danis tersenyum nyungir. Dinda tak merespon malah memalingkan wajahnya menutuli ketakutan.

"Gue sebenarnya bingung harus mulai cerita dari mana." ucapnya awal lurus-lurus. "Lo tau kan, gue di rumah sama kakek gue?"

Entah apa yang Danis maksud, itu hanyalah membuat Dinda mengernyit tak jelas. Berharap pertemuan ini segera usai dan Dinda bisa bebas setelahnya.

"Kakek gue sakit-sakitan, Din. Gue nggak tau harus gimana lagi."

"Gue yang sekarang jadi tulang punggung mereka, gue kerja banting tulang buat nyukupin kebutuhan, nyari duit buat bayar pengobatan kakek gue." terang Danis dramatis tak membuat Dinda menatapnya.

"Terus?"

"Gue dipesan sama beliau. Gue disuruh cari bokap gue yang ada di Bogor buat minta uang pengobatan dan beritahu ke bokap kalau kakek udah sakit-sakitan."

"Kasihan kakek gue, Din." suara serak khas pria pun terdengar. Nampak hampir menangis namun belum berhasil.

"Kenapa lo nggak telfon bokap aja?"

Pria itu menyamping menatap Dinda lebih dekat. "Kalau gue ada kontak bokap gue, udah dari dulu hubungin dia."

Dinda menjauhkan wajahnya.

"Dia nggak ninggalin jejak sama sekali, gue cuma dikasih tau alamat dia." lanjut Danis beralih menikmati suasana taman yang hampir gelap ini.

"Ya udah mending lo cari dia. Nunggu apa lagi? Kasihan kakek lo kalau terus-terusan begini, kan, Dan?"

"Masalahnya..." sanggah Danis melihat manik mata Dinda lebih dalam, "... Kalau gue nemuin bokap gue, gue harus bawa pasangan gue dan langsung nikah setelahnya."

Mata Dinda membulat, menyadari akan keanehan ucapan Danis padanya. Kenapa ia malah memberitahu dirinya, bukan Anggun? Yang statusnya adalah pacar. Kenapa dan kenapa?

VerDinda [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang