"Seekor burung dengan satu sayap tidak akan bisa terbang, maka butuh keduanya untuk bisa mengejar mangsa di atas awan"
~Verdian**
"Bang?" panggil Dinda sama sekali tak mendapat tatapan.
"Apa?"
"Apa gue harus ke luar negeri sendiri?" bingung Dinda terus terpikir akan kejadian beberapa minggu lagi.
"Sama gue juga nggak pa-pa." datar Andre membuat Dinda menungging senyum samar.
Dinda semakin mendekatkan dirinya dengan Andre, mengambil jarak kurang lebih satu meter dari tempatnya duduk. "Gue bingung, Bang. Gue takut pilihan gue ini salah. Gue harus gimana dong?"
"Pikir sendiri." acuh Andre masih menatap layar.
"Gue tanya beneran ih!" dengus Dinda menyenggol.
"Sesuai kata hati lo, kalau lo udah milih yang itu ya udah lakuin. Besok yang ngejalani juga lo, bukan gue. Mending lo pikir-pikir lagi."
"Kata hati gue, gue harus ke Monash, Bang. Tapi gue bingung karena Verdi." ceplos Dinda lalu mengatupkan mulutnya cepat.
"Nggak deng, maksud gue, gue bingung kalau Verdi nyariin gue dan nggak terima gitu dengan kenyataan gue, Bang." ralat Dinda beralasan.
"Kalau lo sama dia udah komitmen, udah, jangan mikir aneh-aneh. Pasti dia tau apa yang lo pengenin itu akhirnya tercapai."
"Iya juga ya, Bang. Oke deh kalau gitu, makasih abuaanggggg."
Dinda kembali ke kamar dengan langkah penuh keceriaan, lagi-lagi ia membuat suara hentakan dengan sandal yang ia kenakan. Cukup berisik. Hal itu membuat Andre terus menutup telinganya.
Andre mendesis pelan saat suara itu kian dikeraskan, melihat ke arah Dinda tajam. "Berisik! Jalan biasa bisa nggak sih?".
Berbeda dengan yang ditatap, ia malah tersenyum kecut dan meledek dengan uluran lidah.
"Biarin, yang penting satu kosong." ujar Dinda mengulang kata yang sudah ia lontarkan sewaktu makan malam barusan. Menyebalkan.
"Besok gue bisa nyaingin lo. Lihat aja, bakalan langsung dua satu." tutur Andre meyakinkan adiknya. Gadis itu berlagak tak mendengar ucapannya.
"Udah sana pergi, ganggu orang nonton TV aja. Hussh! Yah, itu anak manja usir gih." usir Andre kemudian disusul dengan lemparan bantal cokelat, membuat Dinda memekik keras. Pak Arif hanya menatap, menggeleng enggan.
"Ciee, marah nih. Jangan marah abang guannteng sejagat kandang sapi. Ntar pacarnya ilang loh." balas Dinda lalu kembali melemparkan bantal tersebut lebih keras, ia berlari menuju kamarnya dengan selimut tawa.
"Dindaaaa! Awas aja lo!"
Gadis itu segera menuju ke istana kecilnya—tempat pertama yang membuatnya nyaman dan betah untuk berlamaan di rumah. Kamar. Tempat itu masih sama, dimana terdapat balutan gorden berwarna putih kecokelatan.
Ia mengambil posisi duduk di meja belajar dan menatap tumpukan buku yang sudah nampak usang. Lagi-lagi ia masih mau membukanya. Aneh bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
VerDinda [SELESAI]
Fiksi Remaja[Tahap Revisi] Cerita ini meliput kisah asmara antara Verdian dan Adinda, dapat dikata pertemuan itu cukup singkat. Banyak yang menyukainya, banyak yang menginginkannya. Namun ditengah percintaannya, sebuah insiden besar terjadi, banyak kasus yang h...