42. Insiden Malam

760 28 12
                                    

"Loh, Din, kamu belum pulang?" tanya Bu Rere yang barusaja keluar dari dalam ruangan itu. Menunggu Verdi yang sampai sekarang masih belum membuka matanya.

"Belum Ma, Dinda mau nungguin Verdi sampai dia sadar." balasnya, membuat Bu Rere semakin sesak. Ia tersenyum palsu ke gadis yang benar-benar menyayangi anaknya itu.

"Tidak usah, biar Mama sama Om yang tungguin Verdi. Kamu pulang saja, sudah malam. Keluarga kamu pasti nyariin kamu." elak Bu Rere menyadari bahwa hari sudah begitu gelap.

Oh iya—bener, gue lupa belum kabarin mereka. Gumamnya lalu tersenyum kecil.

"Ya sudah Ma, Dinda pulang dulu ya, besok Dinda kesini lagi. Kalau Verdi sudah sadar, salam buat dia ya, Ma, bilangin kalau Dinda kangen berat sama Verdi." canda Dinda tersenyum lebar.

Luka yang ada dalam diri Dinda kini perlahan menghilang. Berawal dari senyuman kecil, hingga celotehan dapat kembali terdengar. Rupanya energi positif itu kembali datang menghampirinya, hingga aura cerah tampak meskipun wajah itu sedikit kusam.

"Iya, nanti Mama sampaikan."

"Ma," tukas Vanya membuat keduanya memandang, "Vanya tidur di rumah kak Dinda, boleh?" pintanya membuat Bu Rere menatap Dinda malu. Ia tersenyum ringan.

"Tidak, Vanya, tadi Mama sudah bilang sama tante Astri buat jemput Vanya dan tidur disana." tolak Bu Rere lembut sambil memegang pundak gadis itu.

Vanya menundukkan kepala, lalu memasang muka manyun dan menghadap Mamanya, "tapi Ma, Vanya pengen sama kak Dinda. Di rumah tante Astri ada anjing besar. Vanya nggak mau disana. Boleh, ya?" bujuknya lagi, "Vanya sudah hampir SMA, Ma. Nggak akan ngerepotin keluarga kak Dinda kok. Vanya sudah bukan anak kecil, itu kan yang Mama pikirin?"

Sungguh, anak ini benar-benar membuat Bu Rere malu.

Dinda yang melihat Vanya hampir merengek pun, akhirnya bersuara, "Iya nggak apa-apa Ma, Dinda malah seneng kalau Vanya mau di rumah Dinda." senyumnya terbit disela rengekan Vanya yang sedikit terdengar.

Vanya menatap Dinda senang bukan main, ia berjoget ria dimana banyak orang yang berlalu lalang. Dasar. Memalukan!

"Ya sudah, Vanya hati-hati ya. Ingat janji kamu."

"Oke, Ma."

Dinda langsung merangkul Vanya dari samping, menatapnya tengil dan tersenyum menang, kembali ke Bu Rere, "Kalau begitu kita pergi dulu ya, Ma. Salam buat om Rahmat. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati."

"Bye, Ma! Vanya pergi dulu."

Dinda dan Vanya pun berjalan, keluar dari halaman rumah sakit. Menatap jalanan sekitar, merasakan tak ada taksi yang lewat sama sekali. Mereka menunggu jemputan di taman depan rumah sakit berdua di kursi sana.

"Kak, kok nggak ada taksi lewat ya?" tanya Vanya sambil terus menatap jalanan.

"Kakak sudah pesan grab kok, tunggu saja." Vanya mengangguk pelan. Lalu mereka menyibukkan diri dengan ponsel masing-masing.

"Kak, kakak pernah ada pacar nggak sebelum kak Verdi?" tanya gadis berambut panjang, spontan.

Yang ditanya hanya tersenyum lalu mengernyit seolah berpikir, "Ada... Emang kenapa?" polosnya.

"Kenapa kakak putus? Satu alasan saja kak buat mantan terindah, kakak." guraunya membuat Dinda geleng-geleng tak percaya dengan adik pacarnya ini.

"Karena... dia sudah nggak sayang sama kakak." ucapan itu membuat Vanya tertegun, kesusahan meneguk saliva. Ia bungkam beberapa saat. Ternyata sama dengan apa yang dialaminya sekarang.

VerDinda [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang