"Semakin hari semakin dekat, semakin hari semakin lambat"
"Kamu sakit? Kok dari tadi Mama perhatiin kamu kayak lagi ngalamun gitu, ada apa?" Bu Rere menanyakan ulang pertanyaannya tadi.
Verdi masih bungkam dengan tatapan kosong menatap makanannya. Tak ada yang bisa ia lakukan dan tak mungkin dia hanyut dalam pemikirannya sendiri tanpa membicarakan sejujurnya pada mereka.
"Enggak, Verdi cuma kepikiran sama Dinda." ucap Verdi polos yang masih menatap kosong makanan di depannya.
Verdi sudah berani terbuka dengan perasaannya, mengingat taruhan yang ia dan Papa lakukan beberapa hari kemarin. Hal itu pasti membuat orang tuanya semakin bangga dan berharap lebih pada Verdi.
"Emang Dinda kenapa, Ver?" Pak Rahmat yang sudah selesai makan pun langsung menanyakan hal itu kepada Verdi. "ada masalah sama kamu?"
Ia menggeleng, "Dinda kecelakaan." lanjut Verdi dengan berat hati.
"Kok bisa? Dia dirawat dimana?" tanya Bu Rere dengan nada yang begitu cemas dan kaget. Verdi yang melihat mamanya juga nampak berat hati pun semakin membuat dirinya lemah.
Ia selemah ini hanya karena cewek, apa benar ia susah menaruh hati pada gadis itu?
"Tadi Verdi lihat kerumunan di jalan, ternyata itu Dinda. Banyak darah yang keluar dari kepala dan lengannya, makanya Verdi cepat bawa dia ke rumah sakit Mendika." terang Verdi lagi-lagi dengan nada yang sangat terasa kesedihannya.
"Kata salah satu saksi, Dinda hampir kehilangan nyawanya."
"Innalillahi, kasihan banget Dinda."
Suasana kini menjadi berubah haru, apalagi dengan suasana hati Verdi yang kini sangat terpukul akan kejadian yang baru saja menimpa Dinda.
"Pa, Ma besok kita jenguk kak Dinda, ya?" pinta Vanya yang kini menatap kedua orang tuanya dengan tatapan berkaca-kaca. Orang tuanya pun mengangguk cepat sambil mengusap lembut kepala Vanya.
"Pasti, pasti kita akan jenguk kak Dinda." kata Bu Rere ke arah Vanya, lalu beralih ke Verdi, "kamu yang sabar ya, Ver, Mama tau kamu suka sama Dinda."
Degg!!
"Kok Mama bilang gitu?" Verdi menatap sekilas Mamanya dengan wajah yang meminta penjelasan. Ia bingung, bagaimana bisa Bu Rere mengatakan hal itu yang jelas-jelas belum tentu kebenarannya?
Apa ini naluri seorang Ibu?
Bu Rere berubah dengan seulas senyuman, "karena setelah kamu kenal sama dia, sikap kamu menjadi beda 330 derajat. Kalau kamu suka sama dia, kejar Ver, jangan kasih kendor, tapi kalau kamu cuma mainin perasaan dia, awas kena tampol sama dia." tutur Bu Rere membuat hati Verdi kembali bingung. Pikirannya lagi-lagi mengulang perkataan itu, yang mana sama dengan perkataan sahabatnya tempo lalu.
"Ma, Verdi baru kenal sama Dinda, mana mungkin Verdi naruh hati dengan gadis itu. Nggak mungkin." elak Verdi berusaha tersenyum hambar.
"Mama sama Papa dulu juga seperti itu, kita baru kenal beberapa bulan tapi setelah itu Papa mutusin buat nikahin Mama." kata Bu Rere memegang pundak Verdi, "jadi nggak ada kata nggak mungkin, kan?" lanjutnya seraya menatap Verdi lembut.
"Tapi kalau kamu mau pacaran lagi, jangan sampai hal itu mengganggu konsentrasi belajar kamu." sahut Pak Rahmat.
"Verdi masih pingin sendiri."
**
"Lo nggak apa-apa kan, Din? Mana yang sakit? Gue pijitin ya? Lo mau makan? Minum? Atau pacar mungkin? Mantan juga boleh kalau lo mau." tanya Zura dengan begitu khawatir akan terjadi apa-apa dengan sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VerDinda [SELESAI]
Ficção Adolescente[Tahap Revisi] Cerita ini meliput kisah asmara antara Verdian dan Adinda, dapat dikata pertemuan itu cukup singkat. Banyak yang menyukainya, banyak yang menginginkannya. Namun ditengah percintaannya, sebuah insiden besar terjadi, banyak kasus yang h...