58. Pengakuan Bertahun

468 30 1
                                    

Dua bulan berlalu begitu cepat. Dua bulan yang tak ada kabar dan dua bulan yang melelahkan untuk Dinda.

Dinda menatap photo polaroid yang ia tempel di atas meja belajarnya. Foto dirinya dengan Verdi waktu di bukit awal mereka pacaran. Senyum sumringah terabadikan dengan jail saat mulut mereka dipenuhi lelehan cokelat.

Vanya: Kak, Kak Verdi nyariin kakak, kakak ke rumah bentar ya.

Dinda merasa bersalah berbulan-bulan, pesan Vanya yang masuk dua minggu lalu ia campakkan dan kini dibaca ulang.

Ternyata Dinda pergi dengan tanggungan yang masih harus ia selesaikan. Ia harus membantu Verdi untuk mengingat masa-masa bersamanya. Ya, ia harus membantunya.

Ia langsung mengambil tas dan beranjak pergi ke rumah Verdi tanpa hambatan.

Kaki yang dua bulan ini tak menginjak lantai rumah Verdi kini terasa berat, jantungnya berdesir. Ia takut jika kedatangannya ditolak mentah-mentah oleh mereka.

**

Dinda duduk di ruang tamu, menunggu Bu Rere yang masih sibuk dengan puteranya. Mungkin ini jam minum obat setelah sarapan.

Rumah yang begitu sepi dengan Pak Rahmat yang berusaha merintis bisnis baru, Vanya yang bermain bersama temannya entah kemana dan Bu Rere serta Verdi yang masih di kamar.

"Ma, maafin Dinda ya." kata Dinda berdiri dan memeluk Bu Rere cepat.

"Maaf untuk apa, Din?"

"Maaf karena Dinda lama nggak ke sini jenguk Verdi. Dinda bukannya pengen ngehindar Ma, tapi Dinda bener-bener sibuk nyelesaiin semua masalah Dinda sebelum kuliah Dinda masuk." terangnya panjang lebar setelah pelukan itu lepas.

"Mama percaya kan sama Dinda? Kalau Mama nggak percaya, Mama bisa tanya ke orangtua Dinda. Bentar Dinda telfon mereka." lanjutnya segera mengeluarkan ponsel untuk menelfon Ayahnya.

Bu Rere menolak penawaran Dinda, membuat Dinda menatapnya khawatir. "Mama percaya kok, makasih ya Dinda udah mau nyempetin ke sini."

Dinda mengangguk cepat, sudut bibirnya ia tarik ke atas dan memeluk Bu Rere lagi. Ia sangat berterima kasih atas besar hati padanya.

"Sebenernya ada yang mau Dinda tanyain, Ma."

"Apa?"

"Mungkin mama udah tau kalau Dinda saudaraan sama Clara." Bu Rere mengangguk meminta kelanjutan. "Mama mau tunjukin makam Clara sama keluarganya untuk Dinda?"

"Iya, mama anterin. Tunggu ya." jawab Bu Rere segera beranjak berdiri.

"Ma, Dinda mau tanya sekali lagi." tanyanya menghentikan langkah wanita paruh baya itu. "Verdi masih akan kuliah di luar negeri kan, Ma?"

"Enggak, Din. Mama udah cabut beasiswa Verdi dan mungkin Verdi nggak akan kuliah tahun ini." terangnya mencekam hati Dinda. "Bentar ya mama ganti baju dulu."

"Iya, Ma. Dinda mau nemuin Verdi bentar."

"Dia di kamar, kesana aja."

Suasana hati Dinda kembali remuk, bahkan berkeping-keping dari sebelumnya. Pernyataan Bu Rere seakan menjadi akhir dari sebuah jalinan asmara antara dirinya dan juga Verdi.

Mereka tak akan bersama beberapa tahun dengan kondisi yang seperti ini. Apa mungkin mereka berdua masih ingat satu sama lain?

"Hai Ver." tanya Dinda setelah membuka pintu kamar, terlihat Verdi sedang berdiri di balkon kamar memandang penjuru lingkungannya dari lantai atas.

Dinda terus berjalan mendekatinya, ia ingin sekali memeluk pria itu dari belakang. Ia rindu, sangat malah.

"Ngapain lo ke sini setelah berbulan-bulan nggak ada di sisi gue? Kemana aja lo, ngilang ditelan bumi?

VerDinda [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang