Seperti yang sudah pernah gue ceritakan sebelumnya, kalau Bibi gue akan datang seminggu sekali, dan hari Ini dia menepatkan janjinya. Walaupun Minggu kemarin nggak datang karena sibuk sama keluarganya.
Bibi Irene telah menginjak usia 38 tahun. Kecantikan pada wajahnya bisa dibilang kelewatan, karena bisa memanipulasi orang-orang, dan mengira kalau umurnya baru 15 tahun.
Tetapi, walaupun wajahnya terbilang sangat cantik, tak membuat Bibi Irene lupa akan kewajibannya menjadi seorang Ibu. Bahkan, bisa dibilang kalau Bibi Irene adalah sosok yang sangat keibuan.
Menurut info yang gue dapat dari Encum, sewaktu menceritakan tentang suaminya Bibi Irene, kalau nama suaminya mirip dengan member EXO. Suho namanya. Bedanya, Suho dari suami Bibi Irene ini merupakan seorang TKI di Malaysia. Tepatnya di rumah Opah.
Mereka juga memiliki satu orang anak laki-laki bernama Woojin. Untung saja, hari ini anak itu enggak diajak, jadi nggak bakalan ngebuat rusuh.
Yang gue heran, kenapa anaknya harus Woojin coba?
Emaknya cantik, Bapaknya ganteng. Anaknya? Arang.
Gue curiga, jangan-jangan Paman Suho salah masukin, nih.
Kalau ingat Woojin, bawaannya mau ngegibah terus. Astaghfirullah. Mending gue ngehampirin anak kost yang lagi caper sama Bibi.
"Bibi tinggal di sini aja, ya? Biar nanti Wiwi tidurnya ada yang ngegarukin. Hehe." Daehwi lagi bergelayut manja di pundak Bibi Irene.
Sedangkan Jihoon, lagi modus dengan memijatkan kaki Bibi Irene yang semulus pantad bayi.
Guanlin sibuk mengabadikan ciptaan Tuhan yang paling cantik.
Baejin?
Dia sibuk mengobrol sama Bibi Irene. Apalagi yang dibahas kalau bukan tentang keadaan gue selama di sini.
"Keadaan Kokom ya gitu-gitu aja. Nggak berubah jadi cantik."
Ini nih yang paling gue takutin dari orang pendiam. Sekali ngomong nyelekitnya sampai ubun-ubun. Ya walaupun gue juga termasuk anak dari golongan itu.
"Dia udah punya pacar?" tanya Bibi Irene dengan tampang keenakan dengan pijatan Jihoon. Sedang Daehwi udah tepar di sampingnya karena sedari tadi nggak disahuti.
"Pacar, ya? Hm ... Kayaknya selama ini Kokom udah terkutuk buat jadi jomblo seumur hidup."
Duk.
Ucapan Baejin kali ini sukses membuat gue melemparkan bantal sofa.
Sembari memegangi kepalanya, Baejin kembali melanjutkan ucapannya, "Bercanda, Bi. Tapi kayaknya Kokom lagi di masa-masa patah hati. Ciaaa." Baejin ngelirik ke gue.
Apaan, sih, garink.
"Serius? Padahal kalo Bibi lihat-lihat, kalian berdua cocok loh."
"AMIT-AMIT."
"Tuh kan barengan."
"APAAN SIH BI JIJIK."
"Dua kali aja barengannya."
"BO—"
Brobot. Dut.
"ANJING DAEHWI LAGI TIDUR AJA SEGALA KENTUT!"
"BUSUK PANTAT LU SERIUS." Jihoon misuh-misuh sembari menampar pantat Daehwi yang si empunya sedang terlelap.
Gue memilih untuk nutup hidung dan mulut, walaupun sebenarnya kepengin ketawa. Tapi ntar gasnya masuk. Berabe dong.
"SAYUR SAYURRRRRR. SAYURNYA KESIANGAN BUUUU. UYYYYY. MASIH SEGER INI ADA WORTEL, TERI JENGKI. SAYURNYA BUUUU IBUUUU."
"Kom, beli sayur sana. Nanti masak sama Bibi." gue mengangguk. Bibi Irene menyerahkan uang seratus ribuan. Setelah itu gue langsung ngacir keluar.
Sesampainya di luar, netra gue langsung disuguhkan dengan pemandangan yang kayak biasa. Setiap tukang sayur lewat sini, ibu-ibu kampung langsung mengerubunginya. Entah itu untuk berbelanja sayur, atau cuma buat lihat pedagangnya.
"Saya beli Akangnya aja boleh gak?"
"Heran ih, makin tua makin ganteng."
"Kali-kali dong jualan sambil mejeng abs."
Gue memilih untuk nunggu dengan duduk di bangku milik tetangga daripada berdesakan sama ibu-ibu.
"Gak kebayang kalo gue yang jualan. Bisa-bisa keperjakaan gue langsung ilang."
Atensi gue berpindah ke samping kiri sesaat mendengar celetukan laki-laki.
"Guanlin? Sejak kapan di sini?"
"Sejak tadi," jawabnya asal dan nggak gua sahuti.
"Gue baru ngeliat tukang sayurnya. Kemarin-kemarin kok nggak ada, ya?"
"Dia baru pulang dari Indramayu."
"Oh. Siapa namanya? Fans-nya banyak juga. Gak boleh kalah nih gue."
Gue ngernyit heran.
Nih bocah aneh banget.
Tapi gue tetap menyahuti, "Namanya Kang Donghae. Dari dulu didemenin ibu-ibu." gue bangkit dari duduk dan langsung jalan ke arah gerobaknya Kang Donghae. Mumpung ibu-ibu udah pada minggat.
"Kang, masih ada apa aja?" tanya gue dengan mata yang menjelajah sayur-sayuran.
Kang Donghae yang lagi sibuk mengikat rambutnya karena tadi tak sengaja tertarik oleh ibu-ibu saking gemasnya, menyahuti, "Masih ada tempe, tahu, sayur asem, ayam. Pokoknya masih banyak dah. Sialan tuh ibu-ibu, bukannya pada belanja malah cari muka doang." Kang Donghae misuh-misuh.
"Mau ayamnya deh satu ekor, trus sambelan, sayur sop, tem— ini kok tempe tipis banget kayak kartu ATM?" gue terbelalak.
"Ya, gitu dah, Neng."
Sesudah membayar, gue dan Guanlin pun kembali ke kost-an.
***
Bibi Irene sudah pulang selepas asar tadi. Sebelum benar-benar pulang, ia sempat memberikan amplop besar berwarna cokelat ke gue. Yang baru saja gue lihat isinya.
Seperti biasa, selain ada uang yang bisa dipergunakan untuk beberapa bulan, juga ada surat yang pasti berasal dari keluarga gue yang nun jauh di sana.
Gue tersenyum miris sesaat melihat foto yang terdapat di dalam amplop tersebut. Foto gue semasa kecil, dengan dipeluk oleh dua orang pahlawan dan satu anak laki-laki yang memasang tampang kesal.
Ibu, Bapak. Dan, elo.
Apa kabar?
Andai kata gue enggak merantau, apa nasib keluarga gue bisa berubah?
Pasti susah. Karna gue pun masih butuh sekolah. Cuma di sini, gue bisa mendapatkan itu. Dengan bantuan Bibi Irene dan Paman Suho yang mengirimi uang. Bukan hanya untuk gue, tetapi keluarga gue juga.
Cairan bening lolos begitu saja dari ekor mata, yang buru-buru gue usap dengan tangan.
Gue memasukkan kembali foto tersebut ke dalam amplop. Selama belum mempunyai bingkai, lebih baik disimpan dahulu daripada rusak nantinya.
Setelah itu gue meraih handuk dan perlengkapan mandi lainnya.
"HAECHAN!!!"

KAMU SEDANG MEMBACA
FANGIRL
Fiksi PenggemarCie, yang tadinya suka Reggae, langsung jadi pencinta Korea. Apakah ini sebuah kurma?