Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Hai, sayang." —Baejin berkepala kecil.
--
Jarak Pantai Anyer dari vila milik Papa Guanlin nggak jauh-jauh banget. Hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan mengendarai mobil, kita pun sampai. Setelah mobil terparkir dengan sempurna, kita keluar dengan membawa perlengkapan.
Hari ini tubuh gue hanya berbalut kaus lengan panjang berwarna merah dengan legging hitam sebatas mata kaki. Rambut sebahu gue biarkan tergerai.
Sedang, Encum masih menggunakan jaket yang sedari tadi melekat di tubuhnya. Dengan celana jeans sebatas lutut yang memamerkan kaki mulusnya. Katanya, Encum nggak turun ke pantai. Hanya main-main di pinggiran pantai saja. Nggak bisa berenang.
Beda dari yang lain, Dobleh tampil dengan sangat tertutup. Hari ini ia memakai cardigan panjang yang hampir menyentuh tanah, dengan dalaman kaus tebal, dan celana bahan berwarna abu-abu. Tak lupa lupa hijab berwarna senada dengan celana yang selalu melekat di kepala besarnya.
Daehwi, Jihoon, Guanlin dan Baejin, berpakaian hampir sama. Kaus dan celana sebatas lutut.
Anyer merupakan salah satu pantai yang selalu ramai pengunjung. Apalagi libur panjang kayak gini. Walau jauh dari ekspektasi gue, membayangkan pantai ini sepi dan hanya ada kami bertujuh.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Banyak banget anak kecil, ntar gue nyaru lagi kalo ikut nyebur pantai." -Daehwi.
Baejin, yang berdiri di samping gue, menyahuti, "Tapi teriakan lo beda dari yang lain, Wi."
"Iya, sih. Suara gue kan kayak Rihanna."
"Guys, gue ke sana dulu, ya." Jihoon menatap kita satu per satu.
"Ngapain? Nggak usah mencar, nanti susah nyarinya," kata Baejin.
"Apa gunanya HP, pintar."
"Ya udah, sana."
Jihoon pun segera berlari menjauh. Wajahnya sumringah sedari tadi. Ternyata, ia menghampiri bule perempuan yang sedang berjemur.
"Kalian main aja. Gue kayaknya nggak turun. Mau istirahat aja sambil jagain barang." gue ngelihat Baejin berbalik, dan jalan menjauh.
"Ayo, Cum, nyebur." Dobleh yang memang niat awal ke pantai untuk bermain air memasang tampang nggak sabaran.
"Duh, gimana, ya." Encum tampak panik. Sesekali juga matanya melirik Guanlin yang tengah main pasir dengan Daehwi.
"Ayo bareng-bareng aja, lebih seru." tiba-tiba Guanlin sudah ada di hadapan Encum. Ia menarik pergelangan tangan Encum dan mengajaknya ke pinggir pantai.
Tersisalah Daehwi, Dobleh dan gue.
Daehwi kelihatan gelagapan. Anak itu gue perhatikan gugup banget, sampai menggigit bibir bawahnya. "Anu—eh. Apa, ya. Siapa si lo namanya? Lupa gue," tanya Daehwi, menatap Dobleh.
Daehwi meraih tangan Dobleh. "Ya udah, ayo, susul yang lain."
"Kom, ayo!"
"Iya lo duluan aja."
Mereka telah menjauh. Kalau orang lain melihatnya, mereka akan mengira kalau Dobleh dan Daehwi adalah kakak beradik, karena Dobleh memiliki postur badan yang jauh lebih tinggi.
Hhh....
Tersisalah gue seorang diri.
Angin berembus, membuat rambut berterbangan. Menikmati pemandangan yang ada di sekeliling, menatap orang-orang dengan wajah senang. Tapi tak semuanya senang betulan.
Mereka sedang berpura-pura bahagia bersama.
Gue menendang-nendang kecil pasir. Dan duduk tergeletak setelahnya, dengan tangan yang dipergunakan untuk memeluk lutut. Netra gue masih fokus memperhatikan orang-orang. Dan berakhir dengan melihat Jihoon yang sedang berfoto dengan perempuan.
"Dasar buaya."
"Siapa yang buaya?"
Gue tersentak. Menoleh ke samping dengan sedikit mendongak. Mendapati Baejin yang tengah berdiri. "Eh, Bae. Nggak, itu si Jihoon, mulai lagi," kata gue, menunjukannya dengan dagu.
Baejin ikut duduk di atas pasir. Memanggil tukang kelapa untuk memberikan dua buah kelapa muda.
"Nih."
Gue meraih kelapa dari tangan Baejin.
"Kenapa nggak ke sana?"
"Gakpapa. Lagian pada berpasang-pasangan."
Terlalu jujur, Kom.
"Kan sekarang udah ada pasangannya, nih. Mau ke sana?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Enakan gini."
"Kenapa lagi?"
"Enggak ada yang ganggu."
Baejin terkekeh. Dia mengacak gemas rambut gue.
"Kenapa nama lo harus Kokom? Kan lucu, kayak orangnya."
Gue ketawa hambar. "Alasan macam apa itu, Bae? Klasik. Elo kali yang udah bosan sama dia."
Baejin mengedikkan bahu. Meminum air kelapanya. "Mungkin."
"Kyulkyung itu cantik banget, lho. Gue pertama kali liat dia aja hampir belok."
"Makin hari makin manja. Risi. Gue lagi kerja, ditelponin terus. Nanya lipstick yang ini cocok atau nggaklah, nangis-nangis soal jerawat lah."
"Namanya juga perempuan. Lo jadi cowok harusnya ngerti. Jangan awalnya aja dikejar-kejar, diperjuangin. Giliran udah dapet, dibiarin."
"Kom." Baejin ngeraih pundak gue dengan kedua tangannya, membuat kami saling berhadapan. Tatapan gue terkunci di bola mata hitam itu. "Lagian, gue mau ngejaga lo, sesuai apa yang diamanahin Bibi Irene."
Deg.
"E-eh, Bae, kita dipanggil Jihoon. Iya, kan? Lo denger gak?"
Tanpa izin, gue bangkit, dan berlari menghampiri Jihoon yang entah keberadaannya ada di mana.