24. Pasar Gelap

615 72 25
                                        

Bertemu dengan Jenglot merupakan sebuah anugerah. Pasalnya, berkat cewek itu, 4 potong kemeja putih, 4 potong jas hitam, 4 potong celana hitam beserta dasi kupu-kupu berhasil kita dapatkan dengan harga murah. Walaupun Guanlin menjadi tumbal, dengan berfoto bersama Jenglot 10 jepretan.

Langit sudah gelap. Sepuluh menit yang lalu azan magrib berkumandang. Mengajak seluruh umat manusia untuk berangkat ke surau, atau pun melaksanakan salat di rumah masing-masing. Begitu pun dengan kami, menyempatkan untuk mampir ke musala dekat pom bensin untuk salat.

"Mau balik ke vila atau mau mampir ke mana, gitu? Makan?" ucap Baejin saat kami sudah berada di luar musala. Duduk di emperan, memakai sepatu.

"Cari tempat makanlah. Laper," sahut Jihoon yang tengah berdiri sembari memegangi perutnya.

"Gue pengen bakso, deh," ujar Dobleh, sibuk mengikat tali sepatunya.

"Beli bakso di mana? Kalo di kaki lima ogah gue." -Guanlin.

"Songongnya gak ilang-ilang." -Daehwi.

"Makan mah di mana aja, Lin. Yang di restoran aja belum tentu sehat." -Encum.

"Dah, gak usah ngikutin selera Guanlin, kita mah recehan." -Gue.

Baejin berdiri. Menepuk-nepuk celana belakangnya. "Gue denger katanya ada Pasar Gelap di sekitar sini. Mau ke sana?"

.
.
.

Kami tiba di Pasar Gelap. Mobil Guanlin terpaksa diparkirkan di Hadirmart karena area parkir di sini sempit, dan dominan hanya diisi oleh kendaraan beroda dua.

Nama tempat ini memang Pasar Gelap, bukan berarti tempatnya benar-benar gelap. Maksudnya sebagai kata ganti dari 'Pasar Malam', biar nggak mainstream. Mungkin kebanyakan orang sering menyebutnya 'bazar'.

Tempat yang dihiasi dengan lampu berkelap-kelip ini ramai pengunjung. Tak hanya pasangan muda-mudi, orang tua beserta anak kecil pun turut meramaikan. Seolah hanya tempat ini saja yang wajib dikunjungi saat malam tiba.

Kami mulai memasuki area bazar dengan berjalan kaki. Akses jalan masuk di sini bisa terbilang kecil, sedangkan banyak orang-orang yang keluar-masuk, hingga membuat kami terpaksa berjalan sendiri-sendiri, berbaris. Walau tangan tetap saling berpegangan. Agar tidak terpisah.

Baejin ada di paling depan, memimpin. Tangannya mencengkeram erat tangan gue yang ada di barisan kedua. Di barisan ketiga, Encum mengikuti, lalu Dobleh, Daehwi, Jihoon, dan terakhir Guanlin karena badannya paling tinggi dan besar, seolah menjadi tameng untuk yang berada di tengah-tengah.

Terus berjalan lurus, seolah tak ada tujuan. Desak-desakkan pun tak luput dirasakan. Aroma tubuh yang tak sedap ada di mana-mana. Penglihatan juga sedikit remang karena tertutup tubuh-tubuh orang lain yang lebih besar.

Sampai akhirnya,

Bruk!

Gue terjatuh.

Tersandung batu yang memang nggak bisa terlihat oleh mata minus gue. Hal itu tentu saja membuat pegangan gue dan Baejin terlepas. Dan juga membuat orang yang ada di belakang refleks berhenti.

"Duh, Kom, hati-hati dong! Letoy amat." Encum mengulurkan tangannya, dengan sigap gue meraih uluran tangan tersebut. Belum juga sempurna berdiri, seseorang kembali menabrak bahu gue.

Bruk!

Memang dasar letoy!

"Awww." risingan keluar saat gue merasakan darah mengalir dari lutut. Dua kali. Dan itu cukup untuk melukai lutut yang isinya tulang doang. Aspal, jelas aja luka.

FANGIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang