Astagfirullah
Air mata sudah tumpah ruah, Illa kembali pada dunia nyata, sekujur tubuhnya bergetar ngilu. Bahkan udara pun kian tercekat di kerongkonga-nya, segera menangkup wajah dan menyeka tiap linangan air yang terus meluncur, Illa memandang sekitar lirih.
Hatinya sesak padahal hanya kekosongan yang mengisinya tapi selalu berhasil penuh entah dengan apa tiap kali perih menghampiri.
Ia butuh tempat untuk istirahat sekaligus untuk menangis sepuasnya, karena sebenarnya Illa telah menjadi tontonan beberapa pejalan kaki yang melewatinya sejak tadi. Masih menutup separuh wajah dengan tangan ia melangkah, Illa kembali melanjutkan isakannya di dalam bilik toilet dari sebuah apotik, yang letaknya tak jauh.
Illa baru keluar setelah lima belas menit berlalu, sebenarnya lima menit terakhir ia gunakan untuk memperbaiki tampilan wajahnya, dengan bantuan dari bedak dan sedikit polesan lipstik, agar lebih menyala. Libbam kurang membuat Illa yakin dengan tampilannya saat ini.
Hari pun berakhir begitu gadis ini langsung tertidur begitu selesai melaksanakan shalat Isya, Illa melakukannya sendiri, karena Bella yang tinggal bersama-nya seorang Nasrani. Bella sempat bingung dengan Illa hari ini, setelah menghilang entah kemana saat ia membeli minum tadi, sikapnya jadi lebih diam, terus mengurung diri di kamar. Bahkan menolak ketika Bella mengajaknya makan malam dengan alasan sudah kenyang. Padahal Bella dapat melihat jelas wajah pucat kurang nutrisi dari Illa yang senang bersembunyi dalam selimut, ia mencemaskan gadis itu, padahal ini masih hari kedua mereka di negeri orang.
Hari yang di tunggu datang, Illa dan dua rekan-nya resmi bekerja di perusahaan, jabatan mereka tak jauh berbeda dari yag mereka jabat di tanah air, hanya melegakan karena kali ini mereka ada di satu Divisi, setidaknya mereka masih bisa berbicara Bahasa lokal sesekali. Seenak apapun berteman dengan orang luar, yang serumpun dan se-nenek moyang gimana pun pasti lebih nyaman bukan.
Tak terasa waktu sudah banyak berlalu, Illa dan Bella tak hentinya menggoda Doni yang dalam sebulan sudah menaiki jabatan lebih sebagai manajer tim, alias ketua Divisi mereka, cukup mengejutkan bagi Illa khususnya, ia kira pekerja sementara tak mendapat hak seperti ini, ternyata ia salah. Kantor pusat lebih loyal dari yang Illa kira, walau memang harus di akui pekerjaan disini lebih dituntut kecepatannya dan ke-Tepatannya, lebih menekan dan harus di barengi dengan hasil yang memuaskan.
kepala Illa hampir pecah rasanya, terus meratapi berkas ber-aksara hanggeul yang tak ia tahu artinya, alhasil hanya berkas berbahasa Inggris yang ia kerjakan.
Mungkin manajer tim-nya yang kemarin mengira Illa sudah sangat jago berkat les Bahasa yang baru lima kali Illa hadiri, termasuk fasilitas perusahaan.
Tapi sepertinya mulai sekarang dan seterusnya ia tak perlu merisaukan perihal itu lagi, Illa malah menatap Doni yang berjalan di depannya.
Mereka dan puluhan karyawan lain baru keluar dari dalam gedung penuh kaca itu saat sore mulai menyapa, matahari masih bersinar, bahkan saat mereka sudah hampir sampai di terminal Subway, yang kebetulan dekat jaraknya dengan kantor.
Doni mengajak Illa, Bella dan rekan lainnya untuk ikut bergabung makan malam, tentu untuk merayakan hari besarnya ini. Illa hanya menggelang, dengan alasan lelah ia memilih kembali ke rumah lebih dulu, tak apa sendirian, Toh Illa kan sudah besar, 23 tahun usiannya.
Ia terduduk sejenak di kursi dekat mesin pengisian saldo kartu subway-nya. Ia cape, memijat kakinya, menghela nafas lalu bersandar pada dinding.
Ini hari yang melelahkan, sebenarnya alasan Illa menolak ajakan Doni tadi bukan karena ia ingin segera bertegur sapa dengan Kasur single-nya, Illa ingin berjalan-jalan menikmati sore harinya kota seoul yang padat andai bisa.
Tapi nyatanya, masih ada ibadah wajib yang menantinya. Juga dirinya yang masih kurang nyaman dengan acara kumpul rekan kerjanya yang pasti tak jauh-jauh dari Soju, daging dan teman2nya. Illa ingin mangkir kali ini, rekan kantornya sudah cukup mengerti dirinya meski hanya seadanya. Syukurnya tak ada yang memaksa atau memojokannya karena seperti tak kompak.
Toh, rekan kerja memiliki batasan, bukan? Mereka sadar tiap orang memiliki privasi dan prinsip hidup yang harus di hormati, Meski mereka harus dibuat heran untuk memahami.
Wajar jika makanan menjadi yang Illa jaga, waspada dan seleksi sejeli mungkin.
Matanya menatap benda di tangan, dompet dan kartu, Illa tak perlu khawatir karena masih akan ada satu kereta terakhir yang akan berangkat 20 menit lagi, jadi ia memilih santai dulu sejenak, tangannya bergerak membuka dompet hitam miliknya, memasukan kartu lalu mengeluarkan sebuah kerta, garis mata-nya mendadak sayu, senyum tersungging lirih pada bibirnya, membuka lipatan kertas usang penuh perasaan.
Kertas yang semula-nya putih itu kini sudah sedikit kecoklatan, matanya memandang tiap kata di dalamnya dengan sepenuh hati, rasa perih mulai menggelitik sanubari Illa hingga tanpa sadar sebulir air mata jatuh di atas kertas usang itu.
Membuat dirinya seketika sadar keberadaan sekitar dan buru-buru menepis air mata yang lagi-lagi memaksa ingin keluar, pemberitahuan kereta yang segera berangkat berkumandang, Illa tersentak, secepat itu waktu berlalu?
Buru - buru ia menyampul kertas tadi pada amplop, dan memasukannya bersama dompet ke dalam tasnya asal, segera berjalan dengan terburu-buru, kebiasaan saat di Indonesia, sekaligus takut kehabisan tempat duduk.
Tanpa ia sadari, sesuatu jatuh dari tas-nya. Dan Illa telah menghilang dalam keramaian.
Sebuah tangan, bercincin perak yang menyemat jari telunjuk-nya terulur, mengambil sebuah amplop biru usang itu.
Illa baru dapat bernafas lega begitu kedua kakinya sudah berada di dalam kereta, ternyata tak percuma marathon lincahnya barusan, ia sungguh berusaha keras agar tak bertabrakan atau bahkan bersenggolan dengan seorang pria. Illa cukup bangga dengan apa yang baru ia lakukan, benar-benar merasa bangga. Ia kembali berhasil menjaga dirinya hari ini, tak lupa ia mengucap syukur sekaligus permintaan keselamatan.
Hari sudah hampir larut dan ia belum melaksanakan Shalat ashar, sudah beberapa hari ini ia kerap terlambat melaksanakn kewajiban yang satu ini, hatinya di hinggapi rasa bersalah. Terbayang, akan betapa marahnya orang ITU jika tahu kelakuan Illa ini, mungkin mengrungnya di kamar dengan berbagai buku fiqih wanita?
senyuman terukir sembari hendak menghampiri kursi kosong dekat seorang wanita renta.
Apapun cara marahnya, Akan sangat Illa syukuri jika sungguh dapat terjadi, pasti sangat menyenangkan seandainya dapat melihat wajah teduh-nya, mendengar omelan tenangnya dengan suaranya yang sangat Illa rindukan.
"Mas Rahmat..." ia tertunduk, menyampingkan tasnya, hendak ia pangku.
"Illa,"
Pergerakannya terhenti, tubuhnya membeku, dunianya mendadak senyap hanya karena suara yang terasa tak asing bagi Illa baru mengudara.
Terlebih... kata yang di ucap. Panggilan itu, hanya satu orang yang memanggilnya dengan nama itu
"Mas..."
-Bersambung-
Bisa tinggalkan jejak dengan memberi krisar serta kesan untuk Chapter ini?
Hehe, lagi haus semangat nulis solanya. Makasih buat teman-teman yang sudah mau nyasar sampai sejauh ini semoga ga kapok yah.
See you next chapter^^
💞-Im_inlove09
KAMU SEDANG MEMBACA
[I↓M] an IDOL and ME
SpiritualBertemu denganmu bukan pilihan, berpisah dari MU lebih berat dari kenyataan tak terduga antara engkau dan diriku. Lalu bertemu DIA yang mengingakanku banyak tentangmu menyadarkanku... Jika pena Takdir telah menggores untuk KAU singgah singkat meny...
![[I↓M] an IDOL and ME](https://img.wattpad.com/cover/159049547-64-k489271.jpg)