04. HELP

56 11 4
                                    

"OH, Hei! kau pinsan? Ah bagaimana ini!" Illa panik, ia hendak menepuk pipi orang itu agar membuka mata, tapi tertahan. Ia bingung... Oh otak Illa yang pas-pasan mohon segeralah bekerja.

Cepat Illa meraih ponsel dan menekannya, nada sambung mengganggu sejenak sebelum suara wanita di seberang menyaut,

"Seseorang tak sadarkan diri dan terluka, tolong segera kirim bantuan ... ah alamatnya ...,"

Dengan wajah datar namun berkecamuk kecemasan luar biasa di dalam tubuhnya Illa menyaksikan para petugas ambulan membopong tetangga-nya yang tak sadarkan diri itu, beberapa penghuni lain yang terganggu dengan bunyi sirine pun sudah berkerumun, penasaran apa yang sedang terjadi. Illa berkomunikasi dengan petugas sesaat begitu tubuh itu sudah di dalam ambulan, Illa sempat menolak saat petugas itu memintanya Ikut, karena hanya Illa yang mengetahui kondisi terkini pasien. Terlebih tak ada saudara atau teman pasien di dekatnya, dan status tetangga yang bahkan Illa baru tahu hari ini menjadi opsi terkuat.

Akhirnya mau tak mau Illa pun terpaksa ikut. Di banding ia tak mengenal pemuda itu Sebenarnya ada alasan lainnya yaitu Illa masih trauma pada segala hal berbau Ambulan hingga kini, jadi wajar jika air mukanya tengah pucat pasih menahan gejolak tubuhnya, lebih dari takut pemuda di depannya ini akan selamat atau tidak.

Petugas wanita yang melihat kondisi Illa pun mencoba menguatkannya melalui kata-kata sembari melakukan pertolongan awal pada pasiennya. Illa mendengar, tapi dunia sedang hening baginya, ia dan raut bingung-nya berkuasa.

Tangannya bergetar, matanya melihat hal aneh. Seorang pria bersimbah darah terkulai di sana, di tempat yang Illa yakini pemuda berjaket hitam tadi terbaring tapi kini yang ia lihat, pria berkemeja hijau tua bersimbah darah sekujur badanlah yang mnempati, dengan mata terpejam, entah sejak kapan tangan Illa sudah menaut erat lima jari pria berwajah tampan yang kini pucat tak seperti biasanya yang selalu berbinar berkat air wudhunya.

Nafas Illa tercekat, mendadak seluruh udara terasa menghilang. Wajah kakunya berlahan menjatuhkan air mata dan mulai terisak berat. Rasanya paru-paru Illa di penuhi batu-batu besar yang menyesak dan menyakitinya.

"Ma-mas..." Bibir kakunya amat berat berucap. Melihat sosok pria yang amat ia kenal ada di hadapannya dengan kondisi megenaskan seperti ini mencabik-cabik nurani Illa hingga tak tersisa. Sakit kian menguasai hatinya saat ia makin dalam menyelami paras orang yang amat ia cintai itu, tak ada kehangatan di genggamannya, hanya ada dingin. Illa semakin menjadi dalam tangisnya, memohonkan agar orang itu bangun, lalu berkata ini hanya mimpi, semua akan baik saja.

Tapi kenapa tubuh itu diam saja dan kian mendingin, Illa mengeratkan tautan jarinya. Mengusap wajah yang separuhnya berbalur cairan anyir yang Illa benci.

Dengan sayang dalam pilu ia mebelainya. Dingin. Ternyata bukan hanya tangannya yang telah kehilangan hangatnya tapi, juga wajah, dan sekujur tubuhnya. Illa lemas. Ia memejam menikmati deritanya.

Namun tiba-tiba sengatan hangat membuat tangannya kian berkeringat. Illa membuka mata dengan binar penuh harap.

Sosok pria dengan alat bantu pernafasan di mulut adalah pemandangan pertama yang ia lihat, lalu seorang pria setengah baya disisi seberangnnya, bunyi memekakan telingan terus menusuk pendengaran Illa ketika getaran tempat yang Illa tunggangi berhenti.

"Kita sudah sampai, nona bisa turun."

Illa mengerjab, sepenuhnya telah sadar dengan dunianya. Merasa janggal di bagian muka Illa menyeka air mata yang merembes di ujung matanya. Ia bersiap saat Ajjushi dan rekannya yang wanita itu hendak menurunkan pasien begitu pintu Ambulan di buka oleh seorang berjas putih dari luar.

Illa membola, ketika menyadari keberadaan tangannya. Dengan sembrononya, jarinya menaut tangan berkeringat pria pinsan itu. Spontan ia beristigfar sembari mengikuti dokter dan perawat membawa bangkar pria itu ke dalam rumah sakit. Illa tertahan di depan ruang perawatan, dengan cemas ia mengoperasikan ponsel ditangannya. Ponsel pria itu yang di berikan oleh Ajjhussi di ambulan, katanya terjatuh saat mereka menurunkan si pemuda. Illa mencari kontak yang terakhir di hubungi sekaligus dengan riwayat panggilan paling banyak dan segera menekan simbol di pojok layar.

Tak sampai nada sambung ketiga, terdengar suara menjawab panggilannya.

"Yeoboseyo, Aku harap kau teman dekat pemilik ponsel ini, karena ia sedang di rumah sakit sekarang. Bisa kau datang kemari ... secepatnya?"

Setelahnya Illa menyandarkan tubuhnya pada dinding, merapalkan segala doa yang ia kira dapat menghilangkan kecemasannya. Lalu memohonkan keselamatan untuk pemuda di dalam ruang perawatan itu pada sang pemilik kehidupan. Sekaligus mempertanyakan jawaban dari mimpi aneh yang baru menghampirinya.

Ya allah, sebenarnya apa mimpi menakutkan tadi... mengapa mimpi mengerika seperti itu engkau perlihatkan pada hamba. Apa engkau ingin hamba terus merasa bersedih atasnya. Lalu sampai kapan?

****


Pintu terbuka setelah beberapa buah ketukan di aturkan, sesososk wanita muncul dari sana. Dua pria di dalam memberi perhatian sepenuhnya, yang bertubuh gempal bangun dari duduknya menyapa Illa ramah.

"Anyeonghaseyo~" sebentar menundukan kepalanya, Illa di hampiri pria yang Illa ketahui bernama Bum seok, itu berkat perkenalan mereka semalam.
Karena pria itu langsung datang selepas Illa menelponnya sebagai kenalan si tetangga. Dan lihat, sekarang pria itu sungguhan menjadi Walinya. Illa lega dia menghubungi orang yang tepat.

"Nee, anyeong. Lai-la (ssi)?" Bum seok memastikan ia tak salah mengucapkan nama gadis itu.

"Ah, sudah datang." Wajah ramahnya tampak berbinar akan kehadiran Illa.

"Nee," Illa tersenyum simpul, lalu beralih pada sosok cuek di atas ranjang rawatnya yang sudah tak mengacuhkannya lagi.

"Hei, berterima kasihlah padanya, dia wanita yang ku bilang. Membawamu kemari semalam lalu menghubungiku."

Hanya deheman yang menjadi balasan, sementara Bum seok tercengan akan tingkah orang asing yang sudah ia anggab adik beberapa tahun ini, Illa dalam pergulatan batin bingung, sebenarnya apa yang sedang ia lakukan ini, bagaimana bisa ia sampai di tempat ini dan atas keperluan apa? Sampai merelakan jam makan siangnya mubajir, alih-alih mengistirahatkan otaknya yang ngebul bekerja ia malah membuang tenaga dan uangnya untuk ke Rumah sakit ini. Apa sebenarnya isi otak Illa, itu yang tengah ia demokan dalam kepalanya sendiri.

"Yak bocah! Kau mendengarku ga sih?"

"Bagaiman keadaanya?" Illa tak ambil pusing dengan orang yang ia jenguk, ia sudah ingat alasnnya datang kemari. Ingin memastikan jika pemuda itu sudah baik dan... dan...

"Ah, anak ini sebenarnya kebal dengan penyakit-penyakit dalam. Tapi entah mengapa Dia begitu mudah melukai bagian tubuhnya. Bukan hanya kaki namun sekarang juga tangannya, entah  bagaimana kelanjutan karirmu nak nak~. Eum, bagaimana pun aku berterima kasih banyak padamu yah nona...?"

"Saya Laila."

Itu sekilas percakapan antara Illa dan Bum seok semalam. Keluh kesah Bum seok saja lebih tepatnya.

"Aku haus,"

"Dia baik saj- MWO(apa)!" kalimat yang awalnya tercipta untu Illa mendadak di sela jalur oleh orang sakit yang menyebalkan itu.

"Akan ku ambilkan," Illa mengedarkan matanya dan mendapati nampan teko beserta gelasnya ada di meja dekat sofa, ia segera menuang air ke wadah setelah menaruh bungkusannya di meja itu pula.

"Ini,"

Illa kembali bersuara begitu pemuda yang hingga kini belum Illa tahu namanya itu mengambil gelas darinya.

"Aku membawa bubur, apa kau sudah makan siang?" bukannya mendapat jawaban, ia di dera tatapan menusuk dari mata cipit pria yang sedang menaruh gelasnya di meja, sebelum mengalihkan matanya menatap ponsel tipisnya lagi.

"Apa pedulimu. Memang Kau siapa?  Kau Fansku?"





-Bersambung-



See you next chapter~😜
Im_inlove09
💞

[I↓M] an IDOL and METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang