Lentera yang berkedip kedip itu membuat ruangan yang mengerikan itu nampak semakin mengerikan. Ruangan ini memang megah, sangat megah bahkan, namun dengan cahaya yang minim, debu yang bertumpuk, dan retakan retakan tembok yang mulai terlihat cukup membuatmu tidak mau menjejakkan kaki disana.
Namun tidak bagi ketiga orang disana, seorang gadis dan dua orang pria berkumpul bagai mendiskusikan sesuatu.
"Rencana ku sederhana, jadi kupikir, otak kecil kalian bisa mengerti rencana ini." Hardiknya dengan nada tinggi, menimbulkan sorotan mata marah bagi mereka yang mendengarnya.
"Kami mengerti, setidaknya hargai kami karena mau ikut denganmu sampai sejauh ini." Pria berkacamata itu kini angkat bicara, tidak terima dihina begitu saja.
"Dan kau nona muda?" Matanya kini menuju pada gadis bersurai ungu itu yang kini menunduk, tidak kunjung mendapatkan respon dirinya menghentakkan tongkatnya ke lantai menciptakan gema yang berdentum di seluruh ruangan. "Kau mengerti rencana ku nona muda?"
"Ah ya aku paham, aku mengerti apa tugasku," ucapnya kemudian dengan anggukan pelan, padahal dalam hati ia mengalami perang batin.
"Apa aku harus kembali ke jalan ini? Kembali dianggap penghianat? Apa aku harus ikut dalam rencana ini? Dimana temanku yang jadi korbannya?"
"Jangan bilang kau tidak siap karena harus menyerang teman mu sendiri?" Tanya nya dengan nada datar namun menukik sangat tajam.
Ryuu menatap prihatin pada Sumire sekarang, seakan mengerti dilema yang ia alami kini. Tapi apa boleh ia buat? Semua ini sudah terlambat, rencana telah di susun, persiapan sudah siap sepenuhnya, dan apa yang akan mereka lakukan ada di depan mata.
"Kalau kau tidak mau melakukannya, harusnya kau menolak kerja sama ini sejak awal."
Pria ini tau, korban yang dituju adalah orang yang pernah masuk dalam hatinya. Pasti sangat sulit merasakan nya.
Yah segalanya menjadi rumit bila ada campur tangan cinta disana. Walau terkadang cinta membawamu pada titik terang yang selama ini berusaha mau cari.
>>••<<
"Hai," sapanya pada seseorang yang kini terduduk manis di bangku taman.
Dirinya tau pasti gadis ini akan berada disini untuk sekedar menghabiskan waktu atau menikmati langit senja yang sebentar lagi tiba.
"Hai," balasnya tanpa menoleh pada siapa yang menyapanya, suaranya cukup familiar membuatnya berpikir tidak perlu menoleh untuk memastikan siapa.
"Boleh aku duduk disini?"
"Ini tempat umum, bukan hak ku untuk menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh disini."
Pria berdarah Yamanaka itu mendudukan dirinya di samping gadis keturunan Uzumaki itu dengan memberi jarak. Nada ketus nan datar yang diutarakan padanya cukup membuatnya yakin kehadirannya tak diharapkan.
Tapi ia tidak sanggup lebih lama terus terusan seperti ini, ia akui ia tidak sekuat Hima dalam urusan hati. Ia sudah cukup muak terus terusan berperang dingin dengan gadis di sampingnya.
"Ada apa kau kemari?" Tanya Himawari yah ia juga tidak mau berlama lama terdiam begini.
"Hanya ingin menikmati senja saja." Inojin menyandarkan punggungnya pada bangku taman itu. "Dan ada yang ingin ku bicarakan denganmu Hima."
"Apa?"
Inojin kembali menegakkan tubuhnya, menarik napas dan menghelanya sebelum memulai percakapannya.
"Sebenarnya aku merasa," Inojin tiba tiba berhenti, tidak ada niatan untuk menjeda kalimatnya namun rasa nyeri di lehernya itu tiba tiba menjalari diri lagi. "Argh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Inojin's Painting Love [END]
FanfictionMenurutku cinta itu rumit namun kini aku terpaksa terjebak dalam situasi yang sangat aku benci itu Ibu dan Ayahku bilang bahwa aku harus menemukan satu matahari yang akan menerangi jalanku menuju cita cita ku dan menemaniku di sisa hidupku Tapi apa...