Ada yang pernah bilang, jam kosong itu lebih menyenangkan ketimbang libur.
Rheya merasa dia akan diberkati Tuhan. Sebab, dia berkata benar adanya. Dia setuju.
Jadi, setelah sengaja membantu mengantarkan tugas anak-anak ke ruang guru bersama dengan Mingyu si Ketua Kelas, agaknya penglihatannya mendadak lebih cerah dibanding satu jam yang lalu setelah untaian kalimat yang begitu manis dari balik bibir Tuan Hong itu keluar, "Kurasa kalian akan free selama tiga jam pelajaran ke depan, sebab kepala sekolah mendadak mengajak rapat."
Ingin tahu ekspresi mana yang ia lempar bersama Mingyu sepersekon setelahnya?
Rheya dan Mingyu kompak memasang wajah memelas, menunduk bersama raut kekecewaan penuh dusta, bersama dengan untaian kalimat kelewat manis, Mingyu membalas, "Oh astaga! Padahal aku sudah menyiapkan diri untuk jam selanjutnya. Aku tidak sabar dengan materi baru yang akan diberikan nantinya."
Huwek. Gadis itu mati-matian menahan tawa yang tertahan dalam pangkal tenggorokan kala kedua irisnya menangkap raut sendu milik Tuan Hong pada mereka, seolah-olah ia begitu prihatin akan murid pintarnya ini, "Yah, bagaimana lagi? Kalian bisa belajar sendiri, ya. Jangan keluar kelas!"
Mengangguk dengan kompak, di bawah sana, kedua tangan mereka—Rheya dengan Mingyu telah menyatu, menepuk pelan tanpa menimbulkan suara yang akan menarik perhatian Tuan Hong nantinya, bertolak belakang sekali dengan wajah lesu nan mengecewakan milik keduanya.
Tuan Hong, benar. Muridmu ini pintar, pintar sekali dalam berakting.
Jadi, setelah keluar dari sana, tawa yang sempat tertahan kini meledak, namun tak sampai membuat yang lain menaruh pandang, bagai kesenangan absolut baginya. Kedua iris Mingyu menipis, sedang mulutnya terbuka melepas tawa, sama persis dengan Rheya yang kemudian berujar jujur, "Hei, berakting seperti itu nyaris membuatku muntah."
Mingyu mengangguk, lantas Rheya pun menepuk punggungnya, menggeleng pelan menyadari tingkah konyol yang baru saja kulakukan bersamanya.
Saat kedua tungkainya mencapai kelas, gadis itu tak lagi dapat menahan senyuman, dengan kesenangan yang menggebu, Rheya pun lantas berteriak ke dalam kelas, "Teman-teman, kita free. Yeaayyy."
Gadis itu mendadak menggerakkan tubuhnya, melemaskan kedua tangan dengan irama abal-abal yang dia ciptakan dari dalam hati sendiri, hei, dia ini konyol bukan?
Mereka bilang Rheya itu gadis yang aneh, tak tahu tempat, tak tahu waktu, tak tahu aturan, mereka menyebutku happy virus.
Si pintar mana lagi yang rela dihukum keliling lapangan lima puluh kali demi melewatkan dua jam pelajaran dengan otak penuh yang nyaris meledak?
Padahal, Rheya hanya melakukan apa yang ingin dia lakukan. Jujur saja, gadis itu selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, mengapa setiap tindakannya selalu membuat paling sedikitnya dua orang tertawa, memujiku dengan nada kelewat senang, mereka berkata dia itu mood booster.
Seperti saat kelas mendadak tegang akibat tata cara belajar yang kelewat ketat, Rheya adalah satu dari jumlah anggota kelas yang melempar dusta perihal penunggu kelas yang tidak menyukai seseorang berbaju merah demi sebuah tawa, membuat Tuan Lee memekik ketakutan hingga rela menaiki meja guru seraya melempar umpatan kasar. Terlalu berani, tapi itulah dia.
Maka tak heran jika satu kelas patuh padanya ketimbang si ketua kelas. Jabatannya di kelas? Perusuh. Namun tak begitu menjengkelkan kala mengingat seperti yang mereka bilang, dia itu 'Ratunya'.
Namun, ketika mendapati respon hening sekalipun kalimat barusan dia lontarkan, Rheya mendadak bertanya-tanya. Kenapa?
Gadis itu pun menatap janggal pada satu siswi yang berada pada bangku depan pojok sendiri, biasanya ia adalah satu dari mereka yang akan heboh berteriak dan memujinya, "Hei, ada yang salah? Kenapa diam saja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SEIZE
Fanfiction[The Secret Series: Book I Of Seize] Bersama dengan tangis yang melebur dalam tawa, Taehyung baru menyadari satu hal, yang teramat berarti baginya; presensi Hwang Rheya semakin menjauh. Dan Taehyung tak akan mampu meraih gadisnya itu. Terlepas dari...