Chapter 40 [FIN]

3.9K 280 66
                                    

Sepanjang hidupnya, awal dari bagian mana ia bernapas dan kemudian mencoba meyakinkan diri bahwa ia telah mati—namun ditampar kenyataan manakala masih mendapati jantungnya berdetak normal, Rheya tidak pernah merasa begitu bahagia sepenuhnya. Tidak pernah sempurna.

Selama kakinya menginjak di bumi, pada harap yang digaungkan di atas kepala tiap malam, pada napas yang menyiksa batin, juga pada kenangan yang memaksa menghuni memorinya—Rheya bahkan dapat menghitung seberapa sering ia benar-benar merasa lebih baik kendati tidak benar-benar bahagia. Seolah di dalam rumus hidupnya, hanya meletakkan teror juga ujian hidup yang bilamana ia menolak bahwasanya serupa dengan bunuh diri namun tak mati. Dirinya tetap saja digempur, diuji begitu hebat, diletakkan pada bagian terdalam hingga ia tidak dapat menemukan setitik cahaya untuk meneranginya. Semuanya gelap. Hanya tentang hitam yang bagaimana tidak pernah meninggalkannya.

Rheya bahkan kerap ragu dengan tujuan Tuhan membiarkannya hidup hingga detik ini bersama dengan sisa kasih sayangnya. Bukan bermaksud mengingkari, hanya saja perihal bagaimana ia telah mencoba bertahan hingga kini—kembali membuatnya menyingkap kelopak mata dan menyadari bahwa masa hidupnya belum juga usai, yang sebagaimana ia yakini bahwa ia masih belum mencapai akhir kehancuran hidupnya. Namun, ia kerap kali bersyukur, berterima kasih pada diri sendiri yang begitu kuat kendati rasanya begitu sulit.

Tidak juga melupakan sisa-sisa memori yang dicecapnya, sukses memenuhi langit-langit kepalanya yang sontak membuatnya terjaga paksa dengan napas terengah-engah, peluh membanjiri dengan likuid bening yang membasahi pipi, tak kecuali bagaimana ia telah melewati luka dengan segaris getir yang disamarkan bersama dengan sisa napas yang diraupnya rakus ketika membuka mata.

Dalam samar ia dapat mendengar suara seorang wanita yang barangkali seorang perawat mendadak terkejut dan tergopoh-gopoh melakukan apa yang ia bisa untuk mengeceknya sebelum kemudian berlari keluar, menemukan tembok bercat putih tulang bersama aroma obat yang berdifusi dengan oksigen miliknya. Merasakan rasa pening bukan main ketika menyadari bahwa rasa sakit perlahan mendatanginya, sisa operasi barangkali. Terlalu lemas bahkan hanya untuk meraup napas dan menyingkap kelopak matanya dengan normal, sekadar menjernihkan penglihatannya yang masih saja memburam. Gadis itu bahkan begitu pasrah kala seorang dokter beserta perawatnya datang dan mulai mengecek kondisinya. Terlalu gelap.

Satu yang ia yakini, sukses membuat hatinya mencelos tak terkira tatkala menyadari; ia masih hidup.

Kehancurannya belum juga usai, bukan?

Butuh sekitar setengah hingga satu jam untuk membuatnya lebih tenang hingga dapat bernapas dengan baik dan menemukan dirinya berbaring di ranjang dengan benar. Ketika seseorang masuk dan meninggalkan suara ketukan sol sepatu miliknya dengan lantai yang sukses membuatnya menyingkap kelopak mata, dan menemukan presensi pria berkulit seputih salju dengan kedua iris segelap malam dan wajah sedatar tembok itu tengah berdiri di depannya.

Siapa dia?

"Bagaimana kondisimu? Merasa baikan?" ujarnya tiba-tiba.

Rheya hanya terdiam, mencoba menjelajah memorinya dan berakhir putus asa tatkala tak menemukan perihal pria di depannya kini. Ia tidak mengenalnya.

"Choi Yoongi. Itu namaku."

Yoongi menunduk sesaat tatkala merasakan hatinya mendadak mencelos dalam seketika, lekas meluruskan pandang dan menemukan Rheya mengernyit—merasa tak mengenalnya.

"Teman Ryujin, kakakmu," imbuhnya kemudian.

Bahkan hanya dengan nama, keduanya seolah sepakat terdiam dengan merasakan hati yang mendadak disayat tanpa alasan. Tentu. Rheya bahkan dapat merasakan pening kembali menyerang tatkala menemukan ingatan perihal peristiwa kemarin, mengerikan. Tidak mengelak, sedaritadi angannya berkelana kesana-kemari hanya untuk meyakini bahwa peristiwa kemarin telah usai, ia lewati dan berakhir terbaring di atas ranjang saat ini.

SEIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang