Mataku memberat. Rasanya seperti tengah tertimpa benda kelewat besar.
Namun, perlahan aku memaksa agar terjaga, merasakan pening mengikat kepala dengan penuh. Samar-samar aku menangkap dinding bercat putih, bau obat-obatan yang menyengat, juga aroma parfum yang telah berdifusi dengan AC ruangan. Di mana?
Aku dapat merasakan perutku yang tengah diaduk, rasa mual yang menyumpal, napas yang berderu pelan, juga rasa sakit yang mengikat ulu hati. Saat kedua irisku berpendar, seratus persen aku yakin bahwa aku tengah berada di ruang rawat inap.
"Argghh," Aku mengerang begitu merasakan tubuhku yang terasa remuk, sulit digerakkan dan hanya bisa meringis menahan sakit saat memaksa duduk. Aku menemukan Rhayel yang tertidur di sofa, tampak pulas.
Dan... dia di sana. Kedua irisnya terpejam erat, kepalanya tertunduk sedang ia berada di posisi terduduk. Well, akan kupastikan ia kesakitan begitu terbangun, kurang lebih rasanya akan sepertiku, tubuh yang nyaris remuk. Deru napasnya terdengar teratur, dan jujur saja ia tampak lelah.
Jeong Jimin. Dia seperti memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Saat seperti ini-ia tertidur pulas, ia terlihat jauh dari kata bengis dan mengerikan, justru sebaliknya. Terlihat begitu hangat dan menenangkan. Sedang saat hari kembali, ia justru terlihat begitu dingin dan menyebalkan. Semua orang takut padanya, ia tempramen, itu faktanya.
Seperti... kepribadian ganda?
"Haishhh apa yang kupikirkan tentangnya?" gerutuku seraya memukul kepalaku.
Tapi, itu memang benar adanya. Dia seperti malaikat... yang sungguh benar-benar terlihat hangat dan menenangkan. Apalagi saat di-
"Oh?"
Aku mematung saat pemuda itu terjaga dari tidurnya dan turut menatapku. Kami bertatapan selama beberapa saat, hingga akhirnya ia mendadak berdehem dan sukses memukul kesadaranku untuk kembali terjaga. Aku menunduk begitu dia bangkit dan berjalan ke arahku, dan sialnya aku mendadak terserang gugup!
"Sedari tadi?" tanyanya yang kini berdiri di sampingku.
"Hm, tidak terlalu lama."
Jimin mendadak meraih kedua tanganku, dan aku baru sadar jika ada beberapa perban di sana. "Kau lihat? Kau punya luka yang harus kau rawat sekarang," terangnya dengan nada datarnya.
Aku mengangguk, lekas menarik kedua tanganku darinya. Dan-Oh astaga! Lutut kananku juga terluka, pantas saja sedari tadi rasanya begitu perih.
"Kau bisa pulang besok, atau lebih bagus lagi jika sekarang. Kau hanya shock dan mendapatkan beberapa luka karena berenang di aspal. Kau menyukai aksi bodohmu itu?!" sindirnya.
"Aku hanya berusaha menolongmu," beoku.
"Bodoh! Lain kali lakukan sesuatu dengan mengendalikan otakmu! Jika kau menuruti perasaanmu, kau hanya akan terjebak pada kesialan seperti itu. Tch! Menyusahkan!"
Aku sontak melotot mendengarnya, sedang gigiku bergemeretak begitu saja. Dia bilang apa? Menyusahkan? Sial! Bajingan sekali kau Park Jimin!
Namun, nyaliku kembali menciut saat ia semakin menajamkan tatapannya. Duh, pengecut sekali kau Hwang Rheya!
"Terlalu banyak luka. Sebenarnya aku tidak peduli, hanya saja ... kau pasti akan kerepotan menangani semua lukamu. Bodoh!" Pemuda bermata monoloid itu mendadak menampilkan senyumnya yang terkesan mengejek seraya mengontrol kedua irisnya yang juga terkesan menyebalkan, dari mulai ujung kakiku hingga ujung rambutku.
"Ha?"
"Kutunggu di mobil. Jika dalam lima belas menit kau belum juga datang, pulang sendiri!" ujarnya, lekas berjalan meninggalkanku keluar ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEIZE
Fanfiction[The Secret Series: Book I Of Seize] Bersama dengan tangis yang melebur dalam tawa, Taehyung baru menyadari satu hal, yang teramat berarti baginya; presensi Hwang Rheya semakin menjauh. Dan Taehyung tak akan mampu meraih gadisnya itu. Terlepas dari...