Chapter 15

3.6K 505 20
                                    

"Kau terlambat lagi!"

Rheya hanya mengendikkan bahunya acuh, lekas mendudukkan diri di kursinya sebelum kemudian mengeluarkan bukunya. Melihat itu, Hani hanya mendecih, sudah biasa. Bahkan kendati telah menghabiskan waktu setengah jam dengan berdiri di depan seraya mengangkat sebelah kakinya ke atas, gadis bermarga Hwang itu sama sekali tak terlihat menyesal. Hanya beberapa kali mengusap punggungnya sembari meringis.

Memangnya, kebiasaan mana yang akan membuatmu spontan mengeluh dan merutukinya?

"Kemarin aku sulit tidur. Tidak tahu kenapa," balas Rheya seraya mencoba menulis materi di depan. Namun, tak lama kemudian ia mendadak tersadar, lekas melirik Hani yang sibuk menulis materi juga.

Rasa gelisah menyerangnya begitu cepat, kegundahan mengikat begitu saja manakala tangan kirinya turun dan meraba kolong meja dengan pelan sembari beberapa kali melirik gugup ke arah Hani. Kedua irisnya tak bisa tenang, namun ia pun tak berani menunduk. Sepersekon kemudian, ia mendadak menahan napas, lalu menghembuskannya tak lama kemudian dengan kedua iris yang kompak memejam.

Lagi.

Jika dikalkulasikan, sticky note yang ia terima sudah terhitung empat kali ia menerimanya. Pengirimnya? Tidak tahu. Pesannya? Nyaris membuat gadis itu berteriak kesetanan. Saat Rheya baru saja hendak menunduk, Hani mendadak menoleh dan mengajaknya berbicara yang sontak mau tak mau membuatnya kembali memasukkan tangan kirinya ke dalam kolong seraya memasang raut senormal mungkin.

"Rheya, kau tahu sesuatu?" tanya gadis itu.

"A-apa?"

Sial! Mengapa ia malah terbata-bata?

"Yoon Hechul... " Hani sengaja menahan kalimatnya manakala mendapati Rheya yang menegang begitu saja, pun dengan kilatan amarah yang tampak pada kedua irisnya. Namun, saat ia baru saja akan menyelesaikan kalimatnya, Rheya lebih dulu membungkamnya dengan pertanyaannya.

"Kau. Apa kau yang mengungkapkannya? Jangan berbohong! Aku dapat menemukanmu yang tersenyum saat Hechul dibawa Nyonya Yoo." Nadanya bahkan kelewat serius. Dan memang, Rheya tengah serius kali ini, apalagi merasakan rasa penasaran yang melebur bersama ketakutan di ujung.

Mendengar itu, Hani tampak kesulitan menahan senyumnya. Ia pun tersenyum, membuat Rheya kembali diserang beribu pertanyaan yang menghujami kepalanya. Hani sempat menunduk, namun tak lama ia kembali menatap dengan penuh keyakinan.

"Aku tidak sendiri, Rheya."

Sial! Rheya sudah menduganya.

"La-lalu?" Lagi-lagi Hani terlihat begitu semangat, begitu tenang dan lega. Ia kembali menatap, seolah menyuruh Rheya untuk mengerti setiap kata yang akan ia lontarkan.

"Jimin sunbaenim tiba-tiba mendatangiku ke kelas. Aku tidak pernah tahu apa yang ia pikirkan, namun, ia memberikanku sebuah penawaran. Yang isinya adalah; jika ia menolongku, maka kau harus menjauhinya. Kedua, dia akan menolongku jika kau bersedia melukai lenganmu lagi. Rheya aku tak mengerti itu semua, aku lekas memilih nomor satu begitu saja."

Hening.

Jimin?

"O-oh, be-begitu, ya? Tidak juga. Aku juga tidak ingin mendekat padanya, a-atau pada siapa pun," balas Rheya tergagap.

Tunggu!

"Jeong Jimin?" ulang Rheya.

"Benar. Jeong Jimin yang masuk dalam tiga pembuat onar di sekolah. Dan dia juga mengatakan sesuatu di akhir, bahwa kau harus selalu siaga. Saat loncengmu berdentum, kau tidak bisa ke mana-mana. Dia bilang, itu adalah kehancuranmu."

SEIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang