Chapter 21

2.9K 373 14
                                    

Pukul dua pagi.

Kendati telah berulangkali memaksa memejamkan kedua irisnya, atau sekadar berpikir dengan tenang, nyatanya Rheya tidak pernah benar-benar bisa melakukan itu. Terlalu banyak pikiran yang menginvasi kepalanya, terlalu panjang jika ditelaah satu per satu. Seolah ia tidak diperbolehkan untuk terlelap, dan harus terjaga atas segala masalah yang membentang luas dari waktu ke waktu. Jika diingat dengan baik, ia bahkan tidak memiliki waktu yang benar-benar baik untuk mengembangkan senyumnya lagi, tidak juga dengan tawa konyol yang kerap ia lempar. Ia terlalu banyak menyendiri diam-diam, membiarkan kepalanya penuh dengan segudang pertanyaan yang tak pernah mendapatkan jawaban. Berapa kali? Entahlah.

Gadis itu menoleh ke arah laci, lekas menurunkan kedua kakinya dan mulai bersimpuh dengan membuka satu bagian laci, menatap cukup lama sebelum kemudian mengeluarkan kotak persegi panjang yang kiranya cukup lama ia sentuh. Gadis itu kembali memandang cukup lama, mencoba untuk tidak menahan pikirannya yang saling berteriak di dalam sana. Ia mengusap pelan, mengulas senyumnya perlahan.

"Kotak milikmu itu spesial, aku tahu itu."

Kini Rheya mengerti kenapa Taehyung kala itu berkata begitu tatkala jemarinya mengusap pahatan samar yang berada di bagian pembuka kotak, ada ukiran yang pernah ia buat tanpa sengaja. Tidak cukup menarik, hanya saja itu berarti baginya. Tentu saja. Ia membuat pahatan itu tepat saat pertama kali ia menyentuh benda-benda tajam nan runcing itu dan menggoreskan di permukaan kulitnya hingga menimbulkan rasa nyeri—namun tak terasa lebih lama karena ketenangan yang perlahan hadir menimbun segalanya.

R—3

Kabut mulai mengelilingi kepalanya, perasaan yang saling berontak tatkala ia menyentuh cutter itu membuatnya tersenyum. Separuh dari dirinya mengatakan tidak, namun separuh lain ternyata lebih mendominasi. Kepalanya penuh. Ia tidak bisa menampung semuanya. Ia tidak mengerti. Ia pun tidak pernah ingin mendapatkan sesuatu yang buruk itu. Namun tetap saja.

Bagaimana bisa mereka memberikan seseorang beban terlampau berat hanya dari untaian katanya? Apalagi mengingat jika mereka tidak pernah mencoba berada di posisinya. Tidakkah itu tampak begitu jahat?

Rheya tidak pernah tahu berapa beban yang menimbun di kepalanya. Gadis itu tidak pernah tahu berapa banyak kesedihannya. Ia pun tidak pernah tahu kapan waktu terbaik yang ia miliki untuk menenangkan diri, setidaknya untuk sekadar terlelap kendati sering terjaga paksa hanya karena mimpi buruk yang lebih pantas dikata teror. Ia seakan kehilangan memorinya. Yang ia lakukan selama ini hanya upaya klasik yang kerap ia terapkan sejak lima tahun yang lalu.

Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja. Tersenyumlah! Kau bisa menahan semuanya. Kau bisa mengendalikannya dengan baik. Jangan pernah tunjukkan kesedihanmu!

Terkadang, menunjukkan kesedihanmu akan membuatmu tampak begitu lemah. Sedangkan Hwang Rheya itu kuat.

Semacam itu. Rheya selalu mengatakan itu pada dirinya sendiri agar tetap tersenyum, tertawa, dan tampak bahagia. Minju bahkan pernah bertanya padanya, "Rheya, tidakkah kau pernah merasa sedih? Aku selalu melihatmu tertawa, kau akan mengeluarkan senyum milikmu meskipun kau mendapatkan masalah. Kau selalu bahagia?"

Tidak. Bukan begitu.

Senyum tidak bisa mendefinisikan sesuatu dengan baik. Tawa tidak pernah bisa melambangkan sesuatu dengan tepat. Dan bahagia bukan sesuatu hal yang mudah didapatkan. Tidak selalu benar.

Namun tetap saja, semua itu harus selalu ditampilkan jika tidak ingin dipandang lemah. Ada kalanya seseorang benar-benar terpuruk, dan lemah bukan sesuatu hal yang menjijikkan jika ternyata itu memang dirasakan. Rheya tidak berusaha untuk menampiknya pula. Kakaknya dulu pernah bilang, tepat pada saat gadis itu menginjak usia ke-12.

SEIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang