Chapter 05

5.4K 706 19
                                    

Untuk satu harap yang tak pernah sirna dari gelapnya malam, pada satu titik dimana sudut bibirku akan membentuk kurva ke atas dengan sendirinya. Manakala untaian kalimat sayang akan terdengar, dan aku bahagia karenanya. Aku masih menunggu. Seperti mimpi di pagi hari, saat kedua irisku terbuka dan pada saat itu pula aku kembali terantuk realita. Kembali menjejalkan umpatan kecil begitu sepenuhnya terjaga. Dan tak dapat kupungkiri jika mimpi lebih indah dari realita.

Namun, aku harus kembali menyiksa diri guna mencapai kelas. Merelakan pening menghajar dengan hebat yang diadu dengan kedua iris yang memaksa terpejam. Oh atau mungkin dengan tambahan suraiku yang tak lagi tertata? Barangkali aku mendadak persis seperti zombie.

Oke. Mata memerah, lingkaran hitam di bawah mata, wajah pucat pasi, dengan surai yang berantakan. Poin penting untuk membuat orang sekitarmu memekik ketakutan.

Dan benar saja, begitu aku masuk ke dalam kelas, selang tiga detik lamanya—penghuni kelas yang berada di bangku paling belakang mendadak berteriak ketakutan dengan menunjukku. Jeritnya membuat siswa yang lain turut terkejut dan melayangkan teriakannya ke udara, tak terkecuali Nyonya Chan yang sebelumnya tengah fokus mengajar mendadak merosot ke bawah dengan rahang terbuka.

Aku sendiri? Tentu saja panik.

Kepalaku serasa ingin meledak begitu jeritan mereka memenuhi telingaku, meletakkan kesal yang teramat banyak di dalam sana. Apalagi begitu puluhan kertas mengudara untukku saat aku mulai melangkah mendekat, ini persis seperti adegan bullying di drama-drama yang pernah kulihat di laptop milikku. Dan mirisnya, Hani pun tidak mengenaliku.

Rasanya, ingin pulang saja dan menangis seharian.

"Hei tunggu! Tunggu! Itu Rheya bukan?"

Oke, itu terdengar seperti suara Mingyu, barangkali penglihatannya telah menajam dan tak lagi memburam seperti lainnya. Aku patut bersyukur, sebab setelahnya lemparan kertas itu berhenti. Nyonya Chan perlahan bangkit dari kursinya, menatapku tajam sebelum kemudian kudengar suara Hani yang mencicit memanggilku.

Aku mengangguk lemah, mendengus pelan seraya menyeret langkah menuju bangku milikku, mengabaikan tatapan mereka untukku.

"Ya Tuhan, Hwang Rheya! Ini persis seperti kau melempar rudal di tengah-tengah proses mengajarku. Kenapa kau seperti itu?" omel Nyonya Chan padaku. Aku menatapnya dengan mata sayu yang nyaris menutup, melayangkan ucapan meminta maaf sebelum kemudian wanita itu menghela napasnya lega, teramat lega.

"Lagipula, apa kau sudah membaik?" tanyanya.

"Akan lebih membaik. Di UKS aku merasa tidak nyaman, tenang saja! Aku tidak akan mengganggu 'kok," tuturku.

"Oke, anak-anak, anggap barusan seperti tes konsentrasi untuk kalian! Dan Park Mingyu, akan kupastikan kau masuk lima besar karena dapat fokus mengenali Hwang Rheya. Ayo lanjutkan!"

Sial! Mudah sekali wanita itu menilai.

Tak sampai sepuluh detik, suasana kembali hening dan suara yang paling mengeras hanyalah milik Nyonya Chan yang fokus menjelaskan materi. Namun, bagi Jeong Hani sepertinya itu tidak berlaku. Sebab, sepuluh detik baginya hanya habis untuk menatapku.

"Kenapa menatapku?"

"Tidak. Kenapa kau di sini?"

Suara yang kami hasilkan cukup lirih hingga nyaris tak kudengar. Hani tampak khawatir begitu jemarinya terulur mengecek suhu tubuhku kembali, "Masih panas. Aku pasti akan membuatmu overdosis jika memaksamu menelan obat kembali."

Aku tersenyum kecut mendengarnya. Cukup bodoh untuk sekedar melempar candaan. "Berada di sini lebih baik ketimbang di UKS," sahutku dengan muka masam.

SEIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang