Chapter 04

6.2K 765 18
                                    

Sebelum kau tidur, atau saat kali pertama kedua irismu terbuka di pagi hari, harapan seperti apa yang kau gaungkan di atas kepala?

Seperti menghabiskan separuh waktu di kamar dengan bantal dan ranjang, atau berkeliling mengitari kompleks di pagi hari bersama anjingmu? Barangkali seperti saat kau ingin membeli permen kapas, namun yang terjadi adalah uang yang kau bawa ketinggalan di meja belajar. Persis seperti itu. Mengecewakan.

Tidak. Tidak. Ini bukan tentang liburan atau kegiatan apa yang akan kau lakukan saat musim panas tiba. Bukan juga kegiatan yang akan kau lakukan saat liburan datang. Ini hanya tentang harapan yang harusnya kau kejar, tepat saat sebelum dan sesudah kau tidur.

"Semoga esok lebih baik daripada hari ini."

Kira-kira seperti itu. Pernah kau berdoa begitu?

Dan di tengah malam manakala kantuk sudah merambat, gedoran keras-keras dapat Rheya dengar dari balik pintu kamarnya, menyuarakan teriakan lantang yang terasa seperti suara rengekan dan ketakutan yang mulai mencicit. Membuatnya yang nyaris terlelap memilih memaksa diri untuk menyeret kaki dan membuka pintu kamarnya, mendapati sosok gadis kecil yang sibuk mengelap ingus dengan wajah sembab nan basah miliknya.

Sesekali terisak dengan rengekan pelan, dia terlihat begitu ketakutan kala berujar padanya, "Kau sudah tidur? Aku ketakutan."

Rheya pum begitu merasa bersalah saat menatap gadis kecil itu. Saat sibuk memikirkan peristiwa malam lalu, ia seakan lupa segalanya. Sial!

Iya, Rheya benar-benar lupa. Rhayel memang kerap terbangun di tengah malam, jika tidak ada ibu, dia akan berjalan menuju kamarnya. Berteriak, memukul, dan menangis di balik pintu. Dan sang ibu akhir-akhir ini memang selalu bekerja malam, dia bilang untuk tambahan. Gadis itu juga menyadarinya, akhir-akhir ini jatah uang mingguannya beberapa kali menambah kendati tak banyak dengan disertai omelan kecil saat sang ibu menatapnya, juga mendapati beberapa pakaian Rhayel yang terlihat baru. Dia bekerja untuk mengidupi anaknya, juga anak tirinya.

Sudah sepuluh kali dalam satu jam Rheya merutuki diri sendiri, doa hari yang baik kiranya harus rela ia simpan dulu pagi ini, mungkin untuk esok? Namun apa pun itu, ini adalah pagi yang masuk dalam jejeran hal terburuk sepanjang hidupnya.

Pasalnya, saat kedua tungkai miliknya menuruni tangga, dapat ia dengar suara sang ibu yang mendera di telinganya, manakala suara dingin nan menusuk itu tampak ditujukan padanya, "Kemarin malam kau tidak mati, bukan?"

Sudah sekitar dua minggu dia memendam emosi dan jarang membentak atau menekan, terakhir kali mereka bertengkar pada saat satu bulan yang lalu. Tampaknya, hari ini emosinya akan diluapkan padanya.

Benar. Aku memang penyebabnya.

Rheya menunduk; mengerti maksudnya. "Maaf," tuturnya saat menangkap senyum Rhayel padanya.

Rhayel jelas tidak apa-apa. Hanya saja, masalahnya berada pada emosi sang ibu dan keadaannya sekarang.

"Berapa kali kubilang? Kau harus bisa menjaga adikmu! Sedangkan aku harus bekerja untuk sekolah dan biaya hidup kita bertiga, kau dengar?!"

Aku bisa bekerja. Dan aku tak pernah memaksamu untuk bekerja demi diriku, Bu.

Rheya hanya memilih menahannya dalam kerongkongan, tak berani melepaskannya. Sekali lagi, ia mengangguk, dan kembali meminta maaf yang ditanggapi gelengan oleh ibubya.

"Jangan mempersulit keadaan kita, Rheya! Kau menjadi tanggung jawabku juga. Mengertilah, jangan menjadi beban!"

Menjadi beban. Oke.

Rheya menghela napas sekali lagi dan bergerak meraih sepotong roti yang telah diolesi selai kacang milik Rhayel. Bukannya menatap sengit seperti biasanya, gadis kecil itu malah menatap sang kakak khawatir yang lekas Rheya balas dengan melempar senyumnya, lantas gadis itu pun meletakkan pantatnya di kursi yang berada di sebrang depan Rhayel, yang terus saja menatapnya. Dia mengerti, ya?

SEIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang