Chapter 25

2.6K 390 56
                                    

Mata yang memejam erat itu bergerak gelisah, beberapa kali kepalanya menggeleng tak tentu, napasnya mendadak tersendat hingga timbul isakan kecil tatkala mimpi yang didapat begitu mengerikan. Manakala sesuatu tengah ditayangkan—memengaruhi kontrol dirinya begitu hebat hingga hanya mampu menutup mata dan tersiksa sedemikian rupa, gadis itu hanya memiliki sepertiga dari kesadaran totalnya, yang bagaimana ia meminta—berteriak untuk lekas terjaga, sedang yang lain kompak menjeratnya dalam kengerian yang hebat pada mimpinya.

Rheya yang kala itu baru berumur 13 tahun tengah berlari terburu-buru, meninggalkan adiknya yang masih kecil—Rhayel di kamar setelah mendengar suara ibunya. Pekikan ibu tirinya menggelegar, memenuhi rungu dengan pilu. Langkahnya sontak terpatri dengan kencang, lekas turut menyusul pada tempat yang berada. Kala itu, ia baru saja pulang sekolah.

Dan ia mendadak dipaku dalam sesaat, seolah dipaksa menjejalkan rekaman rusak pada kedua irisnya.Tubuh yang menggantung dengan kepala yang terikat tali. Sang ayah telah terbujur kaku dengan wajah pucat pasi kemudian tatkala diturunkan.

Rheya sontak merosot, merangsek mundur seketika dengan manik membelalak. Merasakan napas yang tercekat dengan hebat, kesadaran yang dihantam telak, juga tangis yang mendadak turun. "A-ayah?" panggilnya.

Nyonya Song hanya menangis sembari memeluk suaminya, lekas membuat Rheya mulai mendekatkan diri dengan merangkak pelan dan berakhir di samping ayahnya.

"Ayah?" panggilnya sekali lagi.

Ia mula mengguncang pelan tubuh ayahnya, menahan teriakan yang menyumpal di dalam sana dengan kewarasan yang mulai dipancing.

"Ayah! Ayaaahhh!" Gadis itu menjerit, memekik pilu dengan menangis begitu keras.

"Ayah," gumam Rheya dalam tidurnya.

"A-ayah... "

Nyonya Song menangkup wajah Rheya yang begitu kacau, lantas memeluknya sembari menangis. Rheya sontak balas memeluk ibunya, tak kuat tatkala melihat peti ayahnya dibakar. Ia hanya mampu menangis dan berteriak pilu kala itu. Hingga kemudian ia mendadak tersadar tatkala tidak mendapatkan presensi sang kakak di mana pun.

"Ibu, di mana kak Ryujin?" ia bertanya manakala Nyonya Song tengah mengemasi barang-barang Tuan Hwang. Pertanyaan itu berhasil membuat wanita itu berhenti menjejalkan barang ke dalam kardus, ia lekas berbalik, menatap Rheya dengan pandangan yang sulit diartikan. Hingga kemudian ia bangkit, berjalan menuju Rheya yang berada di samping Rhayel.

"Jangan menyebut namanya, Rheya!"

Rheya tentu mengernyit, menatap tak mengerti. "Apa maksud Ibu?"

Nyonya Song pun kembali menangkup wajah Rheya, mengusap pelan kedua pipi gadis itu dengan ibu jarinya. "Dengar! Kita tidak lagi memiliki hubungan dengannya. Hanya ada kita bertiga, tidak ada Hwang Ryujin di dalamnya. Hanya aku, kau, dan adikmu Rhayel."

"Kenapa begitu?" Rheya menyingkirkan kedua tangan ibunya, lekas menatap tak terima.

Namun Nyonya Song balas meraih kepala gadis itu ke dalam rengkuhannya, mengusap pelan surainya. "Kau tahu? Dia yang membunuh ayahmu, Rheya. Dia yang menyebabkan ayahmu bunuh diri."

"Kakakmu."

Saat itu juga Rheya tersentak, terjaga paksa dengan napas memburu dan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Pun terengah-engah manakala rasa sesak masih menghimpit. Ia dapat merasakan pening bukan main pada kepalanya. Potongan memori yang rusak itu baru saja datang, berhasil membuatnya kembali menjadi gadis penderita gangguan mental yang menyedihkan. Ia pun buru-buru turun dari ranjang dengan perlahan agar adiknya tidak sampai bangun.

Gadis itu membuka laci, mengeluarkan kotak persegi panjang yang sempat disentuhnya kemarin. Isakan kecil pun keluar dari bibirnya, setengah meringis begitu rasa pusing menghantamnya kelewat hebat. Ia sempat menoleh, memastikan sang adik yang masih terlelap. Sehingga ia bangkit dan berjalan tertatih menuju kamar mandi kemudian.

SEIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang