Chapter 20

3.2K 432 52
                                    

"Masuk saja. Mungkin Taehyung juga di dalam. Aku akan menyusul sebentar lagi."

Setelah mengatakan itu, Jungkook segera membawa dirinya menjauh, meninggalkan Rheya dengan hawa canggung yang membuatnya betah memaku di depan pintu rawat inap Jimin.

Mungkin. Mungkin Taehyung di dalam. Benar. Mungkin.

Kedua irisnya memejam, mencoba menekan kuat-kuat desir aneh yang perlahan menjadi kegelisahan. Tidak, ia butuh Jimin. Ia butuh Jimin atas segala pertanyaannya nanti. Gila saja jika ia menyerah sebelum berperang. Mental yang kuat, Rheya hanya butuh itu saat ini. Jadi, setelah memupuk keyakinan dan diakhiri helaan napas panjang, ia mulai membuka pintu dengan perlahan.

Dan benar saja, Jimin memang sudah siuman. Terbukti saat tubuhnya memasuki ruangannya, ia dapat menemukan Jimin yang terduduk dan tengah bersandar pada bantalnya. Pemuda itu pun menoleh tatkala mendengar langkah yang mendekat, sempat mengernyit sebelum kemudian kembali menatap datar. Rheya tersenyum kikuk, mendapati tatapan seperti itu bisa saja membuat mentalnya jatuh dalam seketika. Jadi ia buru-buru meletakkan bingkisan yang berisi buah-buahan itu di atas nakas. "Aku datang bersama Jungkook sunbaenim. Kau... tidak keberatan, kan, jika aku menunggunya di sini?"

Jimin mengangguk begitu saja. Ia terkekeh tatkala mendapati Rheya yang berusaha mencari presensi orang lain di ruangannya. Bisa ditebak. Kelewat mudah, malah. "Taehyung belum datang. Dia berjanji akan datang, tapi sudah terlambat satu jam yang lalu dan belum ada di sini," tebaknya.

Mendengar itu, Rheya sontak gelagapan. Ia meringis kikuk, merasa kecolongan. Jimin melirik pada bingkisan yang ia berikan, lantas berdehem sekilas sebelum kemudian menyuruh gadis itu untuk duduk di kursi tunggal sebelahnya. Gadis itu hanya mengangguk dan lekas mendudukkan diri. Hawa canggung sempat meliputi, tak ayal membuat Rheya gemas sendiri. Susah, ya ternyata jika berhadapan langsung?

Gadis itu melirik, menemukan Jimin yang betah menatapnya, entah kenapa rasanya justru terkesan tengah mengintimidasi gadis itu. Rheya sontak berdehem sekilas, sebelum kemudian berusaha mengatur raut wajahnya tatkala pertanyaan sudah siap untuk dilontarkan. Ia menatap jimin yang juga tengah menatapnya. "Sunbae, jika aku mengajukan beberapa pertanya—"

"Tanyakan!"

"Ha?"

"Kubilang tanyakan, kau tuli?" Rheya sontak bungkam kendati sempat mendelik, namun buru-buru membuang muka begitu tatapan Jimin justru semakin terasa menusuk.

"Ada banyak pertanyaan yang menggangguku. Dan itu berhubungan denganmu." —lebih tepatnya, karena dirimu, Sialan! Jimin mengangguk tenang, seolah ia sudah menduga dan menyiapkan banyak alibi guna menjawab. Sial! Rheya tidak ingin mendapatkan kebohongan dari sandiwara manapun.

"Berita terbunuhnya pria paruh baya—"

"Aku memang sempat menghajarnya. Tapi aku tidak membunuhnya. Aku cukup tahu diri, hanya memberinya sedikit pelajaran dan... selesai."

Gadis itu dapat merasakan kerongkongannya tercekat, bersama dengan rasa pias yang mendadak merayap di dalam sana. Kelewat cepat. Jimin menjawab begitu cepat seolah ia benar-benar tengah bersandiwara. Rheya sempat diserang pening manakala jawaban itu keluar dengan entengnya, jauh dengan perasaan berdebar setengah ngeri yang sedaritadi mulai menghuni benaknya. Gadis itu kembali menatap Jimin, berusaha mengorek lebih dalam. "Lalu?"

"Aku hanya menghajarnya sampai dia tidak bisa berjalan, selebihnya... aku tidak peduli. Lebih dari itu, tidakkah kau ingin tahu hal yang lebih menarik di sini?"

Apa? Apalagi yang menarik? Semua hal tentang Park Jimin memang menarik, sekaligus mengerikan.

"Taehyung yang menyuruhku."

SEIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang