Chapter 22

2.6K 391 68
                                    

"Aku benar-benar kesal karena harus terjaga dengan jemari yang tak henti-hentinya mengolah koding ke komputer kemarin malam. Tidakkah kau berterima kasih denganku juga?"

Hani menoleh, sedikit terkejut manakala Jungkook hanya menunduk dan mengulas senyum seringainya. Gadis itu pun hanya mampu bungkam seraya meremat jemarinya sendiri, berhadapan dengan Jungkook selalu membuatnya tak nyaman kendati pemuda itu tidak pernah melakukan apa pun padanya. Tidak dengan menyentuh, atau sekadar berkata kasar. Entahlah, Hani hanya merasa was-was. Perasaan takut masih saja menyeruak, merangsek begitu dalam tatkala diingat. Ia kerap kali menemukan tubuhnya bergetar di tengah malam dengan keringat dingin dan terjaga hingga pagi kemudian. Bagai teror, gadis itu tidak bisa bernapas dengan tenang.

"Aku benar-benar terkejut saat malam itu Jimin mendadak mengumpat dan menyambar kunci motornya, tanpa mengatakan apa pun dia pergi begitu saja dengan raut bengisnya." Jungkook menatap Hani dengan seringaiannya, lantas membuat Hani kesulitan meneguk ludahnya sendiri. "kupikir kau bisa mengatakan sesuatu tentang itu, Hani?"

Hani tahu maksud Jungkook. Ia sepenuhnya sadar ke mana konversasi itu akan berujung. Jadi, gadis itu membasahi bibir bawahnya, lekas menatap ragu dengan mencoba mengembalikan kilas balik sebelum kejadian mengerikan itu menimpanya.

Saat di mana Hani bertemu dengan seorang pemuda yang menghubunginya menggunakan nomor tidak dikenal selama beberapa hari terakhir tidak lagi bisa dia tahan, gadis itu terlampau penasaran kendati tidak mengelak jika ia pun memiliki rasa takut di dalamnya. Gadis itu benar-benar tidak menyangka, ia bahkan dapat menemukan sekujur tubuhnya membeku sempurna tatkala manik mereka saling menjerat, pun merasakan firasat buruk yang mendadak menyelinap disertai ketakutan hebat yang membalut kepalanya.

Yoon Hechul tersenyum begitu manis ke arahnya. Begitu manis hingga Hani tak kunjung bisa menggerakkan tubuhnya jika saja Hechul tidak bangkit dari duduknya, lalu berjalan mendekat ke arahnya. Hani meremang hebat, seolah ada bom di atas kepalanya yang tengah berbunyi—menuju puncaknya hingga meledak. Ia ingat betul. Hechul memang dikenai skors oleh pihak sekolah setelah kejadian atas kotak persegi panjang yang berisikan benda-benda tajam di tas milik Rheya. Apalagi mengingat jika mereka berdua pernah terlibat kejadian tak menyenangkan setelahnya, rasa-rasanya Hani begitu menyesal tatkala mendatangi sesuai dengan isi pesan yang ia terima.

Firasatnya memburuk dalam seketika. Lagipula, jika maksud Hechul nantinya baik, lantas mengapa ia menggunakan nomor tersembunyi sedangkan ia bisa meminta dengan baik? Takut? Pasti. Hani tengah ketakutan kala itu.

"Hai... tidak bertemu denganmu selama beberapa hari terakhir rasanya justru menyiksa. Tahukah kau? Aku selalu terjaga tiap malam hanya untuk memikirkanmu agar dapat datang kemari. Ingin tahu? Aku mempunyai sesuatu yang menarik... " ia membawa tubuhnya mendekat, membiarkan Hani menahan napas singkat tatkala deru napasnya menerpa telinganya. "yang akan membekas di ingatanmu. Sesuatu yang tak pernah bisa meninggalkanmu barang sedetik pun untuk tidak kau ingat. Tentunya... sesuatu yang akan membuatku senang, dan barangkali itu juga berlaku padamu?"

Entah mendapat keberanian dari mana, Hani lekas mendorong Hechul untuk menjauh darinya. Gadis itu menatap nyalang, setengah ketakutan dengan napas memburu. "Aku tidak ingin. Aku tidak akan menerima apa pun darimu."

Hechul lebih berbahaya. Jauh berbahaya ketimbang Taehyung dan antek-anteknya untuk saat ini.

Gadis itu lekas merangsek mundur, lekas berbalik dan berlari terburu-buru keluar kafe dengan ketakutan yang nyaris menguasai kesadarannya dengan penuh. Gadis itu membuka ponselnya, menekan nomor seseorang setelahnya. Tidak sampai lama, panggilannya terjawab. Hani sontak memekik, dengan napas memburu ia berujar parau, "Tolong aku!"

Seseorang di seberang sana pun mengernyit tatkala mendengar suara Hani yang lebih dapat dikatakan tengah ketakutan. Ia pun dapat mendengar isakan yang mulai menerobos rungunya. "Kenapa, kau di mana?"

SEIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang