Chapter 35

2.1K 298 44
                                    

Sebenernya aku ada 2 lagu buat chapter ini. Yaitu Tears of an angel sama Can you hold me.

Serius, bagiku ini ampuh buat di chapter ini. Tapi di atas aku cuma nyantumin can you hold me doang :"

---

"Kakak, aku ingin es krim."

Langitnya tengah menangis.

Kegelapan tengah merangsek di hati semua orang. Rasa kehilangan yang mendalam, rasa terpukul begitu hebat, dan kesedihan yang membumbung tinggi.

Dan di sinilah Rheya berdiri, berada paling depan untuk menyaksikan terbakarnya peti Hwang Rhayel. Rambutnya diikat asal-sedikit berantakan, kedua irisnya memerah, namun ia tidak dapat menangis layaknya semua orang.

"Kak?"

"Y-ya?"

"Ingin dengar tidak?"

"Apa?"

"Suatu hari... entah kebetulan, atau memang terjadi... rasanya, aku ingin terus mengatakan bahwa aku menyayangimu."

"Benarkah?"

"Kalau begitu kenapa harus suatu hari? Kau bisa mengatakan itu kapan pun padaku. Bahkan... hari ini, jam ini, di detik ini... kau dapat mengatakannya sesuka hatimu."

"Aku menyayangi kakak."

Ia tidak ingin melepaskan tatapannya barang sedetikpun dari adiknya. Rasanya, lubang itu semakin besar di dalam sana-terasa mengoyak lambat laun hingga membuat hatinya semakin terluka.

Semua orang menangis. Nyonya Song bahkan nyaris kehabisan napas karena begitu terpukul, sama halnya dengan Hani dan beberapa tetangga mereka.

Senyuman Rhayel tak kunjung sirna dari ingatannya, suara tawanya bahkan masih terngiang sempurna. Manalagi ketika ia menatap untuk yang terakhir kalinya, Rheya kembali dipukul begitu hebat oleh kenyataan.

Rhayel ingin tetap hidup.

Dia ingin bertahan.

Namun mengapa Tuhan menjemputnya?

Malaikat kecil itu ingin hidup lebih lama lagi, mengapa Tuhan menjemputnya?

Terlalu cepat. Terlalu cepat Rhayel pergi.

Api di sana berkobar, sama halnya dengan dadanya kali ini. Rasa panas yang bercampur sesak sukses meruntuhkan pertahanannya hingga ia hanya bisa terdiam dengan wajah datar miliknya.

Kosong.

Rheya merasa begitu kosong.

Tidak ada ekspresi apapun yang ia tunjukkan selain menatap peti sang adik yang terbakar.

Bagaimana ini?

Ia telah kehilangan separuh dari dirinya kembali.

Bahkan kendati proses kremasi telah usai, gadis itu sama sekali tak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Ia masih setia menatap-kosong.

"Kak, aku takut."

"Kenapa?"

"Tidak tahu. Tapi aku sering bermimpi indah."

"Benarkah? Apa mimpimu?"

"Tidak tentu. Tapi selalu indah, misalnya dengan pergi ke taman bunga, membeli permen kapas denganmu, mengenakan gaun yang cantik, atau berbincang riang di sekolah. Hal-hal seperti itu."

SEIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang