Chapter 08

4.5K 584 12
                                    

Pukul enam lebih tiga puluh lima pagi. Kiranya itu cukup pagi bagiku ketika tungkaiku memasuki kelas. Bersenandung kecil seraya melempar senyum bagi mereka yang tengah menatapku, bisa ditebak bagaimana suasana hatiku kali ini. Senang. Entah kenapa?

"Uhh, dasar! Tidak ada apa yang rajin selain diriku di kelas ini?" celetukku. Setelahnya, aku kembali tersenyum, terkekeh kecil saat mengingat aku si pelaku datang terlambat kini mendadak menampakkan diri di jam yang terbilang ajaib untuk kudatangi. Barangkali tidak penuh, namun dapat terhitung menggunakan kesepuluh jemariku. Beberapa murid di kelas kudengar saling berbisik setelah balas tersenyum kepadaku, kurang lebih seperti; kerasukan setan mana hingga bisa datang di jam begini?

Tidak masalah. Aku dapat memahaminya.

Aku menarik kursi, meletakkan tas milikku sebelum kemudian mengernyit saat melihat kolong mejaku. Jemariku terulur meraihnya, ada sebuah sticky note berwarna kuning yang memuat beberapa kata di dalamnya. Kedua irisku berkedip berulang kali, merasakan perasaan tak nyaman yang mendadak menyerang ulu hati hingga perlahan tanpa sadar aku meremas sticky note tersebut setelah sebelumnya mengedarkan pandang dan mendapati beberapa temanku yang mulai masuk, dan yang lain masih sama pada posisi mereka sebelumnya.
Aku berjalan menuju tong sampah, membuangnya. Dan lekas berbalik menuju bangku milikku dengan wajah kembali berseri. Tidak mungkin aku mendadak ketakutan di awal hari. Beberapa temanku yang baru datang turut terkejut kala melihatku, mereka menyapa sebelum kemudian saling menggaruk kepala dengan bingung. Seperti keajaiban mungkin? Kalau benar, tidak masalah jika kedatanganku kali ini menjadi keajaiban.

"Oh? Hwang Rheya?" celetuk Hani seraya menatapku tak percaya, gadis itu pun berjalan mendekat ke arahku—lebih tepatnya di sampingku yang merupakan bangku miliknya.

"Kau terkejut juga?" tanyaku.

"Hm, kukira kau siluman mengingat kau baru datang jam tujuh lebih lima atau sepuluh menit biasanya," balasnya kelewat santai.

Si-siluman?

Sontak aku menatapnya dengan pandangan terluka—memperlihatkan bahwa aku sama sekali tak menyangka dia akan mengatakan begitu padaku. "Tegany—"

"Sudah sarapan?" selanya.

Aku mengernyit, menatapnya dengan alis menukik tajam, "Sejak kapan kau peduli aku sudah sar—"

"Sejak otakmu membaik akhir-akhir ini."

Jahatnya!

"Haih kau ini temanku atau bukan, sih? Luas saja kalo bicara!" dumelku seraya mengangkat tubuh dan berjalan mengikutinya yang lebih dulu.

Sepanjang perjalanan menuju kantin yang tak terbilang jauh dari kelas, aku tak berhenti menjahili Hani. Membuatnya mendengus, mengumpat, bahkan sesekali memukulku saat beberapa gadis mengajakku berbicara hingga membuat langkahku terhenti dan meladeni mereka. Saat itu pula ia berteriak kesal dan lantas menarikku dengan sempoyongan.

"Duduk saja, kau pesan apa?" tanya Hani begitu kami sampai.

Aku tersenyum, menatapnya cerah sebelum kemudian membalas,"Terserah kau saja."

"Kalau pasir dan batu bagaimana?"

"H-hah? Jangan—"

"Bercanda." Hani terkekeh, lekas menjauh guna memesan. Sembari menunggunya, kedua irisku lantas berpendar ke sekitar, menemukan bahwa kantin cukup sepi kali ini. Tentu saja. Siapa yang akan mengunjungi kantin sepagi mungkin jika bukan pedagangnya sendiri?

Kedua irisku menyipit kala kembali meletakkan pandang pada kelas duabelas—kelas Kang Taehyung dan teman-temannya. Tampak pemuda bersurai blonde baru saja memasuki kelas dengan seragam yang berantakan, ia menyugar surainya ke belakang sembari melempar tas ransel miliknya sembarangan pada bangkunya. Tampak di sana seisi kelas mendadak hening, tak berani berbicara keras-keras dan terbahak seperti sebelumnya. Tak butuh waktu lama, ia segera duduk—menempatkan kedua kakinya di atas meja sembari mendongak dengan kedua iris yang memejam.

SEIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang