Demian berjalan santai menuju lift yang akan membawanya pada puncak gedung sebuah hotel bintang lima di ibu kota. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya kini sedang ada perang Bharatayuda. Antara iya atau iya.
Ah itu bukan sebuah pilihan.
Demian menelan salivanya tepat dentingan lift disusul pintu yang terbuka. Nyeri di ulu hati kembali merambati. Sakit, tapi Demian sendiri tak tahu letak sakitnya ada dimana. Jangan bilang ini aneh, karena Demian benar-benar merasakannya.
Sesuatu terjadi pada tangannya. Entah mengapa tangannya kini menjadi berat untuk diangkat. Ia menggenggam kuat jemarinya dan membuka pintu kayu dengan design serba mewah itu. Satu hal yang ia rasa sekarang.
Mau mati.
"Permisi," ucap Demian setelah menutup pintu.
Orang yang sedari tadi berdiri menghadap pintu kini tersenyum. entahlah, antara senyum haru, sendu, rindu, marah, dan gelisah. Semua berlalu terlalu cepat untuk Demian pahami.
"Apa kabar, nak?" suara parau itu menggema.
Demian tersenyum meremehkan. Sejenak orang itu membisu kembali. Ada rasa kecewa yang menyelimuti wajahnya.
"Saya kesini hanya mau memberikan sesuatu pada anda."
"Anda?"
Demian mengangguk, "iya. Anda."
"Anda? Wae?"
Demian terkekeh, "Saya kecewa. Orang yang saya percaya bisa menjadi ayah angkat untuk saya ternyata juga meninggalkan anak kandungnya."
"Demian-"
"Saya mungkin terlihat seperti anak kecil yang masih ingusan. Tapi percayalah, saya lebih dewasa dari yang anda kira."
Orang itu terdiam.
"Dulu, anda bilang semua yang anda lakukan adalah demi kebaikan. Tapi lambat laun saya bertanya-tanya , kebaikan apa yang dihasilkan dari meninggalkan putra semata wayangnya? Saya tahu itu sulit bagi anda," ucap Demian sembari mendekat.
"Kamu ingat?"
"Saya sudah bilang, saya tidak sekecil itu."
Orang itu mengangguk, "lantas, bagaimana kamu bisa tahu keberadaan saya dan bagaimana cara kamu menghubungi saya?"
"Anda akan terkejut jika mengetahui siapa dalangnya."
Orang itu mengangguk, "baiklah. Ada perlu apa?"
Demian menyerahkan sepucuk surat beramvlop cokleat usang.
"Ayah Sudra," panggil Demian. "Datanglah. Akhiri semuanya," ucap Demian kemudian menghilang dari pandangan orang itu.
|||
Kilauan cahaya lampu itu terlalu silau bagi Hana. Perlahan kelopak matanya bergetar yang lambat laun terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah ruangan gelap dengan berbagai peralatan komputer dan perangkat lainnya teronggok rapi di salah satu sisi ruangan.
Ada rasa familiar kala menatap pucuk kepala yang wajahnya terhalang monitor komputer. Hana berniat bangun, tapi sedetik kemudian ia kembali merintih. Seluruh tubuhnya seperti habis dibanting rasanya. Rasa nyeri dimana-mana.
"Lo udah bangun?" suara itu Hana kenal.
Mata Hana menatap Saga tak percaya. Ah, jadi sekarang Hana sudah bebas. Ia sekarang tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk hingga kemudian Saga mengambil duduk di sebelah Hana berbaring.
"Bagus kalo gitu."
"Makasih Saga."
Saga tertunduk sejenak hingga beberapa detik kemudian ia memberanikan diri menatap mata Hana. "Gue gak tau harus memulai dari mana."
KAMU SEDANG MEMBACA
you call me, MONSTER! ☑
General FictionGue mati rasa. Tapi gue juga berhak punya rasa. Ada rasa sendu penuh harap akan bertemu di penghujung waktu? Berharap titik temu yang selama ini semu. Apa itu rindu? -Saga [bahasa semibaku, semi nonbaku] [storyby sucirahma303, dont copy paste, cause...