Wait

68 9 11
                                    

"Zia, lacak ponsel Saga sekarang!" titah Zico yang tengah sibuk mempersiapkan senjata entahlah Hana tidak paham itu apa. Tapi yang pasti itu senjata canggih yang belum pernah Hana lihat.

"Oke bang," jawab Zia yang sibuk menatap monitor.

Hana hanya sibuk menatap Zico dan Zia bergantian. Ini dunia yang aneh bagi Hana. Semula dunianya tenang, tak sewas-was ini. Hingga akhirnya ia bertemu Saga. Satu-satunya orang yang bisa membuat kupu-kupu beterbangan di perutnya. Satu-satunya orang yang membuatnya diam saat menatap dalam manik matanya. Dan satu-satunya orang yang berkata 'good bye' setelah mengatakan perasaannya.

"Shittt!!!"

"Kenapa Zi?"

"Ponselnya hilang jejak sejak kemarin, bang." Zia berdecak.

Zico berpikir lebih keras lagi. Ia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Saga. "Lokasi terakhir Zia!?"

Zia langsung mengotak-atik keyboardnya cepat, "dapet bang!"

Zico langsung berlari mendekat. "Dimana?"

"Pelabuhan Ratu."

"Pelabuhan Ratu?"

"Iya. Tapi itu kemarin."

"Kita kesana sekarang. Kita harus cari petunjuk dari sana."

"Hana?" tanya Zia pada Zico.

"Dia harus pulang."

"Aku ikut," potong Hana cepat.

"Han-"

"Aku ikut Zi."

"Bahaya Han," potong Zico.

Hana menghela nafas. "Kalian butuh aku."

Dahi Zico dan Zia spontan berkerut. 

"What do you mean, Hana?" tanya Zico serius.

Hana menatap Zico dan Zia dengan sorot mata penuh keyakinan. Entah Hana dapat dorongan dari mana, tapi iyakin pada satu hal. Ingatan.

"Aku ingat, aku pernah dibawa kesana. Pantai itu, aku yakin itu Pelabuhan Ratu. Waktu itu memang gelap, tapi aku bisa merasakan hawa pantai. Saga yang nyelametin aku Zi, aku harus bertemu dia."

"Hana," lirih Zia.

"Aku kemudian juga dibawa ke satu tempat usang, yang terkesan misterius. Aku yakin kita bisa dapet petunjuk dari sana." 

Zico dan Zia masih saling pandang. Haruskah mereka menyertakan Hana dalam permainan konyol ini?

"Kumohon," melas Hana.

000

Sudra berjalan cepat menyusuri lorong hotel sembari menggenggam sebuah amvlop pemberian Demian kemarin.

Di loby, Demian sudah berdiri membelakangi Sudra dengan gagahnya. Usianya memang masih terhitung belia, tapi jiwanya sudah lebih dewasa dari usianya yang seharusnya.

Mendengar derap langkah itu, Demian berbalik dan menatap lembut Sudra.

"Anda sudah siap?" tanya Demian.

Sudra terdiam, manik matanya terlihat sayu menatap tubuh Demian yang jauh lebih rendah darinya. 

"Tentu."

Demian mengangguk. Ia berjalan mendekat dan menyerahkan sebuah kalung yang sudah beberapa tahun terakhir selalu melingkari lehernya. Demian tertunduk sejenak, "untuk anda."

Hanya kata itu yang mampu  keluar dari mulut Demian. Ia makin tertunduk dalam. Dadanya begetar. Ingin rasanya ia memeluk sosok paruh baya di depannya ini. Tapi untuk sekarang, dunia tidak mengizinkan.

you call me, MONSTER! ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang