+2 Zia : Fall

131 12 7
                                    


Gerimis.

Remang-remang petang, entah kenapa suasana ini cocok untuk dijadikan setting film horror.

Tapi tidak buat gadis remaja yang baru masuk SMP sepertiku. Aku lebih merasa, karena dirikulah, suasana ini cocok dijadikan setting film horror. Karena aku dan kisahku.

"Dasar anak gak tau diri!"

"Kalau bukan karenamu, hidupku gak akan pernah seperti ini!"

"Ini semua karenamu!"

"Ibu kan sudah bilang! Belajar yang bener! Hobimu tidak akan berguna. Nilaimu malah anjok tak terkira. Dasar goblok!"

"Dasar tak tau diri!"

"Pembawa sial!"

"Dasar anak pungut."

Dasar.

Anak.

Pungut.

Anak pungut.

"Ya', kamu lagi kamu lagi, aku selalu yang harus mengalah! Dasar gak guna," desisnya kali pertama kakiku menginjak rumah.

Aku baru pulang sekolah. Dan aku sudah cukup lelah. Lelah belajar, lelah dengan teman-teman, dan kini...aku lelah dengan keluargaku sendiri.

Apa aku lagi yang salah?

Baik.

Sepertinya aku memang terlahir untuk salah.

Aku langsung menuju kamarku. Satu-satunya ruangan yang cukup menenangkan. Satu-satunya harapanku adalah melanjutkan mimpiku. Sekarang aku sadar, mimpi lebih mengasikkan dari pada kehidupan.

Hingga...bunyi telepon menghancurkan segala kehidupanku dari segala penjuru.

Sore itu, aku mendapat kabar bahwa...sebagian jantungku telah berpulang. Ayahku, satu-satunya orangtua kandungku yang tersisa juga meninggalkanku.

Aku seperti buta arah. Ragaku masih hidup, tapi jiwaku mendadak mati.

Dua hari setelah pemakaman ayah. Aku semakin disalahkan atas segala hal. Baik ibu tiriku, kakak tiriku, teman-temanku, bahkan tetangga yang tak tau apa-apa pun ikut menyalahkanku. Aku pembawa sial, katanya dan kata mereka.

Aku sudah merasa cukup.

Sekarang aku benar-benar menyerah.

Di penghujung siang, tekadku sudah bulat.

"Mau kemana Ya'?" tanya ibuku yang sibuk dengan beberapa lembar kertas di ruang tamu.

"Bagus! Ditanya diem aja. Gak usah pulang sekalian!" sahut kakak tiriku.

Aku hanya mengangguk kemudian melanjutkan langkahku. Aku hanya ingin bertemu ayahku. Aku ingin menemaninya.

Sepanjang jalan, otakku melayang-layang. 

Tentang mereka yang menyalahkanku, itu semua atas dasar aku yang selalu pulang telat. Bahkan kadang malam hari aku pergi keluar. Mereka mengira aku tumbuh menjadi anak yang dengan pergaulan bebas. Tapi kenapa mereka hanya menerka? Kenapa mereka tidak bertanya kebenarannya padaku? Siapa mereka?

Persetan.

Omong kosong semua.

Ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari kak Rama. Aku menghela sejenak, sebelum tanganku benar-benar menggeser slide answernya.

"Hallo kak. Kenapa?"

"Gini Ya', kaka lupa ngasih tau. Malem ini, band kita jadi tampil di kafe biasa ya. Acarnya jam 8, gimana?"

you call me, MONSTER! ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang