#10

1.3K 20 0
                                    

Manusia memang bisa berencana, tapi Allah lah yang menentukannya. Kehidupan ini memang tidak selamanya selalu berjalan mulus, rasanya tidak selalu manis, terkadang ada pahitnya. Semuanya Allah berikan bukan karena Dia tidak menyayangi kita, bukan karena Dia tidak bersedia mengabulkan keinginan kita, tapi Dia Maha Mengetahui, Dia tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Satu persatu masalah mulai muncul, menggoyahkan bangunan yang telah aku dan dia dirikan. Tapi semuanya bisa kami lalui walau hatiku masih mudah tergoyahkan hanya karena mendengar perkataan orang lain. Tapi dia selalu mampu membuatku yakin bahwa kita bisa melewati semua masalah itu, dia selalu bisa menguatkan hatiku, dia adalah alasan mengapa aku tetap bertahan dengan semua perkataan orang lain tentangnya.

Namun satu hal yang tak lagi mampu menopang bangunan itu, restu orang tua. Entah darimana bisikan angin itu menyapa orang tua ku.

Terik matahari menemani siangku hari itu. Aku melentangkan sekujur tubuhku di atas sofa ruang keluarga, pikiranku melayang kesana kemari, ku hembuskan nafas perlahan sembari memejamkan mata.

“Ra, nanti kalau pilih pasangan jangan yang terlalu tua yah.” Ucap Mamah tiba tiba.

Aku hanya terdiam mendengarkan setiap kata yang diucapkan mamah. Entahlah, rasanya sulit untuk berkata yang sejujurnya pada keluargaku. Aku takut jika mamah akan memintaku untuk menjauhinya.

“Ra, kalo nanti Kak Dany bilang suka ke Ara, jangan diterima yah.” Ucap Mamah lagi.

Aku tersentak saat mendengar kata kata itu, perlahan kubenahi posisiku, aku duduk menghadap mamah yang entah asik menatap apa.

“Kenapa?” tanyaku ragu.

“Kak Dany kan usianya delapan tahun lebih tua dari Ara.” jawab Mamah sambil menoleh padaku.

Aku terdiam cukup lama, tak ada kata yang dapat aku lontarkan, lidahku kelu untuk hanya sekedar berucap sepatah kata saja.

“Kalo lebih tua emang kenapa Mah?” tanyaku lemah.

“Yah gapapa sih, cuma kalau mamah sih nyaraninnya jangan sama Kak Dany, lagipula kan Kak Dany masih orang sini, kan gak seru kalau sama tetangga.”

“Ihh.. mamah gak jelas, yah terus kalau sama tetangga emangnya kenapa?” jawabku sambil tertawa kecil sebagai usaha mencairkan suasana.

“Yah gapapa, mamah sih cuma nyaranin.”

“Iyah Ra, sama yang agak jauhan gitu.” Timpal kakak perempuanku tiba tiba.

“Ihh apaan sih Kak, nyamber aja.” ucapku ketus.

“Iyah iyah, terserah Ara aja.” Jawab kakak ku.

Aku merebahkan badanku kembali di atas sofa itu, kupejamkan mata, menarik dan membuang nafas dengan sedikit kasar berkali kali, berharap hal itu dapat membuang segala hal yang kini merasuk hatiku dan membuatnya tidak nyaman untuk tetap bertahan dengan hati yang memintanya.

Sabtu malam, waktu yang selalu ku tunggu tunggu. Yahh malam itu adalah satu satunya malam yang selalu kurindukan, tak ada kegiatan yang harus kulakukan di malam itu.

Aku membaringkan tubuhku di atas tempat tidur, mendengarkan lagu lagu yang mengalun pelan dari ponselku. Aku menatap langit langit kamar, pikiranku terus menerawang mengingat setiap kata yang terlontar dari bibir tipis Mamah tadi siang.

"Aku menyerah.., aku ingin menyerah." gumamku dalam batin.

Kupejamkan mataku sebelum akhirnya dering telepon memaksaku untuk membuka mata. Kulihat namanya terpampang diponselku, aku mengangkat telpon darinya dan menutup mataku lagi.

"Assalamu'alaikum Kak.." sapaku.

"Wa'alaikumussalam, lagi ngapain?" tanyanya.

"Lagi tidur" jawabku singkat.

"Orang tidur kok bisa angkat telpon sih? Hehe.. " ucapnya sambil terkekeh.

"Bisa dong, kan melek dulu bentar, terus merem lagi." jelasku padanya.

"Udah ngantuk? Tumben, masih jam 8 udah tidur. Apa Ara sakit? " tanyanya.

"Gapapa, cuma lagi pengen males malesan aja Kak, mumpung gak ada tugas plus sabtu malam juga kan jadi yah Ara mau males malesan aja." jawabku.

"Mmm.. Kak Dany ganggu gak? " tanyanya sedikit ragu.

"Enggak." jawabku.

Tanpa berniat membuka mata walau sedetik saja, aku terus menjawab setiap pertanyaan yang diajukannya.

"Ra, kalau orang tua Ara tau tentang kita kira-kira gimana yah?" tanyanya tiba tiba.

Aku kembali dikejutkan oleh kata kata itu, astaghfirullah sepertinya kata kata itu jadi kata kata horor untukku kini.

"Gimana apanya?" tanyaku yang kini telah membuka mata.

"Bakal direstuin gak yah?" tanyanya lagi.

"Tau, yah gimana takdir aja deh pusing Ara ditanya begituan." jawabku dengan sedikit kekehan.

"Semoga aja yah, Aamiinn..." katanya.

"Maaf Kak, Ara belum bisa cerita tentang ini. Ara gak tau harus memulainya darimana. Ara gak mau kalo harus menjauh, biarlah takdir yang akan menjawab setiap pertanyaan dan mengabulkan setiap doa yang selalu kita langitkan." ucapku dalam batin.

Aku menutup mataku kembali, tak ada yang memulai pembicaraan setelah itu, sebelum akhirnya dia melantunkan sholawatan yang mengantarkanku pada dunia mimpi yang nyatanya selalu lebih indah daripada kenyataan, walau hanya sekedar mimpi.

Saat Nafsu Mengatasnamakan Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang